JAKARTA – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) terus mendukung program mandatori biodiesel oleh pemerintah yang baurannya akan ditingkatkan menjadi 40% (B40) tahun depan. Pengembangan biodiesel sebagai energi baru dan terbarukan, selain mengurangi emisi gas rumah kaca, juga terbukti menghemat devisa impor bahan bakar.
“Dari program B35 yang kita laksanakan saat ini, nilai devisa yang bisa dihemat mencapai Rp512,07 triliun,” kata Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS Normansyah Hidayat Syahruddin, dalam paparannya pada seminar yang diselenggarakan Rumah Sawit Indonesia (RSI) di Jakarta, Senin (18/11/2024). Seminar dalam rangka Kongres I RSI ini mengambil tema “Menggapai Kedaulatan Pangan, Energi dan Ekonomi melalui Perkebunan Sawit untuk Menuju Indonesia Emas 2045″.
Baca Juga: Melonjak 55,56%, Insentif B35 Tahun 2024 Diperkirakan Tembus Rp28,5 Triliun
Peran BPDPKS memang sangat strategis dalam menyukseskan program mandatori biodiesel. Sebagai pengelola dana pungutan ekspor sawit, BPDPKS menjamin keberlanjutan program mandatori biodiesel. Apalagi, pemerintah berencana meningkatkan bauran dari B35, B40, B50, dan seterusnya, peran BPDPKS menjadi semakin penting.
“Pemerintah berhasil secara konsisten mempertahankan program mandatori biodiesel melalui masa pandemi dan gejolak harga minyak dunia. Bahkan di 2023 telah dilaksanakan implementasi B35 dengan realisasi penyaluran biodiesel sebesar 12,26 juta kilo liter (KL), dan di 2024 sampai dengan Agustus volume penyaluran biodiesel sebesar 8,35 juta KL,” kata Normansyah.
Dalam kesempatan tersebut, Normansyah juga memaparkan peran positif industri sawit bagi perekonomian nasional. “Sebagai industri padat karya, sektor kelapa sawit memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian.
Baca Juga: Untung Ada Program B35, Indonesia Bisa Hemat Rp161,25 Triliun
Sektor ini mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan ekspor dan neraca perdagangan, mengurangi inflasi dan mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan untuk memperkuat ketahanan energi nasional,” katanya.
Di tengah peran yang sangat signifikan tersebut, kata Normansyah, industri sawit nasional juga menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan tersebut antara lain: produktivitas yang rendah (rata-rata 2,8 ton CPO per hektar per tahun), adanya perkebunan sawit dalam kawasan hutan (terindikasi 3 juta hektare), persoalan legalitas, sarana dan prasarana yang belum memadai, hingga tantangan regulasi.
“Selain tantangan dari dalam negeri, industri sawit juga menghadapi tantangan global yang juga sangat kompleks. Seperti hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif, serta masih maraknya black campaign sawit di luar negeri,” kata Normansyah. (TIA)