JAKARTA – Koalisi Buruh Sawit (KBS) menyoroti upah minimum buruh sawit di Indonesia yang dinilai terlalu rendah. Bahkan, angkanya dua kali lipat lebih rendah dibandingkan dengan upah buruh sawit di Malaysia.
Koordinator KBS Ismet Inoni mengatakan pihaknya cukup miris dengan kondisi pengupahan yang tak hanya rendah, namun juga tak sebanding dengan risiko dan hak keamanan buruh dalam bekerja di kebun maupun pabrik pengolahan.
“Malaysia itu kan nomor dua lah produksi dan luasan area sawit di dunia. Harga CPO (crude palm oil) dan PKO (palm kernel oil) kan nggak jauh beda, kalaupun ada perbedaan sedikit. Tapi upah minimum di Malaysia tahun lalu itu kalau tidak salah sekitar 1.700 ringgit, kalau dirupiahkan itu Rp6 juta,” kata Ismet di acara talkshow International Palm Oil Workers United (IPOWU) 2025, Senin (8/9/2025).
Baca Juga: Buruh Sawit Tuntut RUU Perlindungan Kerja
Bahkan, menurut Ismet, pendapatan buruh sawit di Malaysia bisa mencapai Rp17 juta dengan berbagai insentif. Dia pun tak heran jika buruh di Negeri Jiran itu bisa membeli rumah hingga terjamin pendidikan untuk anak-anaknya.
Kondisi tersebut dinilai berbanding terbalik dengan nasib buruh di Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki luasan kebun sawit mencapai 17,3 juta hektare (ha) dan produksi minyak sawit sebanyak 52,76 juta ton yang menjadi produsen terbesar di dunia.
“Indonesia yang paling luas, paling besar, rata-rata upah buruh sawit itu masih antara Rp2,8 juta sampai paling besar Rp3,6 juta. Minimum dan itulah basis dasar buruh sawit nerima upah,” jelasnya.
Baca Juga: Buruh Sawit PT Kurnia Luwuk Sejati Meninggal Dunia di Kebun
Dia mencontohkan, upah buruh sawit di Kalimantan Barat sebagai salah satu wilayah dengan lahan konsesi sawit terbesar di Indonesia hanya bisa mendapatkan upah di kisaran Rp2,8 juta hingga Rp3,3 juta.
“Upah di beberapa kabupaten di sana itu masih Rp2,8 juta sampai Rp3,3 juta. Itu pun karena proses perjuangan serikat buruh, bayangkan,” ujarnya.
Pendapatan yang diterima disebut tak sebanding dengan risiko dan hak para pekerja. Buruh selama ini harus menempuh jarak kebun sawit yang panjang di pedalaman hutan. Bahkan, total luasan area yang digarap pun bisa mencapai 500-700 ha.
Kendati demikian, dia melihat masih nihil perhatian dari pengusaha untuk menyediakan infrastruktur seperti tempat peristirahatan, toilet, dan lainnya yang layak untuk pekerja. Untuk itu, pihaknya tengah mendorong pengesahan RUU Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit (RUPBS) yang menyangkut hak-hak, jaminan, hingga upah bagi buruh sawit. (REL)