NUSA DUA – CEO Westbury Group, Abdul Rasheed Jan Mohammad, menyoroti gejolak besar di pasar minyak nabati dunia yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Menurutnya, lonjakan produksi sawit di Indonesia dan Malaysia muncul di luar ekspektasi pasar dan menjadi pemicu utama tekanan harga.
“Pasar telah mengalami gejolak besar, terutama karena peningkatan produksi di Malaysia dan Indonesia, yang tidak diharapkan oleh sebagian besar pelaku pasar,” ujarnya dalam presentasi di Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2025, Nusa Dua, Bali, Jumat (14/11/2025).
Selain faktor produksi, dinamika global juga memperkeruh situasi. Kebijakan biodiesel Indonesia masih belum tegas, sementara perang tarif antara negara-negara besar membuat arah pasar jangka pendek hingga jangka panjang terus berubah.
Baca Juga: Kebijakan Tarif India Tak Efektif, Untungkan Sawit Indonesia?
“Kebijakan Indonesia tentang B-50 masih ambigu. Perang tarif masih berlanjut sebagai faktor dominan,” kata Abdul Rasheed.
Dengan konsumsi per kapita mencapai 18 kilogram, Pakistan disebut memiliki kebutuhan yang terus meningkat. Abdul Rasheed menyebut total konsumsi nasional berada di angka 4,5 juta ton, sementara produksi lokal hanya 0,5 juta ton. Kondisi itu membuat impor minyak nabati terus menanjak.
“Jadi, hingga Oktober tahun ini, kami telah menerima 3 juta ton minyak. Saya perkirakan masih perlu dua bulan lagi, dan kami akan menerima 3,4 hingga 3,5 juta ton minyak nabati di Pakistan, yang merupakan peningkatan sekitar 12% dibandingkan tahun lalu,” jelasnya.
Baca Juga: Industri Sawit Harus Jadikan EUDR sebagai Peluang
Ia menegaskan bahwa Indonesia tetap menjadi pemasok utama minyak sawit Pakistan. Indonesia sendiri masih menempati sekitar 90% pangsa pasar di Pakistan dan mempertahankan sekitar 87 hingga 90% dalam empat tahun terakhir. Namun, struktur tarif Pakistan membuat industri penyulingan lokal kesulitan dalam memanfaatkan minyak sawit mentah (CPO).
“Struktur tarif kami tidak memungkinkan kami untuk mengimpor CPO dan pajak ekspor CPO di Indonesia dan Malaysia tidak memungkinkan kami untuk mengimpor minyak sawit mentah,” jelasnya.
Di samping itu, Pakistan sempat melarang kedelai dan kanola GMO dalam dua tahun terakhir, menyebabkan biaya impor lebih mahal dan pasokan terganggu. Namun situasi berbalik sejak Januari saat keduanya telah diizinkan terutama dari AS dan Brasil. Hingga kini Pakistan telah mendatangkan 1,75 juta ton kedelai dari dua negara tersebut sepanjang 2025.
Baca Juga: Sawit Pilar Indonesia Emas 2045 dan Motor Transformasi Hijau
Di tengah dinamika tersebut, kebijakan B50 Indonesia menjadi diskusi penting karena dampaknya terhadap pasar global. Abdul Rasheed menilai implementasi B50 belum pasti dan memunculkan pertanyaan mengenai prioritas penggunaan minyak sawit.
“Apakah kita benar-benar perlu meningkatkan campuran menjadi B50 ketika harga minyak mentah lemah? Selanjutnya apakah kita perlu menggunakan minyak sawit untuk makanan atau bahan bakar?” katanya.
Ia memperingatkan bahwa bila Indonesia mengeksekusi B50, negara-negara pengimpor seperti Pakistan akan menghadapi ketatnya pasokan. (SDR)

