JAKARTA – Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, melalui EUDR, Uni Eropa (UE) ingin memenangi persaingan pasar dengan strategi nonprice competition. Itu karena UE tidak mampu bersaing dengan strategi price competition.
Produktivitas yang tinggi, telah membuat harga minyak sawit lebih murah dari komoditas lainnya. “Bersaing dengan harga, mereka tidak mampu. Makanya, UE menerapkan strategi nonprice competition,” ujar Tungkot saat menjadi pembicara Refleksi Industri Sawit 2023 dan Tantangan Masa Depan: Mau Dibawa ke Mana Sawit Kita? yang digelar Rumah Sawit Indonesia (RSI), Rabu (10/01/2024).
Parahnya, lanjut Tungkot, sekarang tidak hanya dilakukan UE, Inggris dan Amerika Serikat (AS) juga menerapkan hal yang sama. Jadi, sudah tiga negara yang memberlakukan kebijakan antideforestasi, termasuk antidegradasi lahan.
“Karena itu, sudahlah jangan terlalu berharap ke pasar-pasar itu, pasar UE, kembangkan pasar lain. Atau, industri sawit RI segera masuk (mandatori) B40,” ujar Tungkot yang juga salah satu pendiri RSI ini.
Tanpa mengecilkan upaya Pemerintah Indonesia dalam melawan EUDR, Tungkot mengatakan, segala strategi dalam membendung dampak kebijakan antideforestasi itu butuh waktu lama. Pesan dari EUDR adalah bagaimana Indonesia bisa memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanaman sawit dan menuntaskan kawasan sawit yang terjebak dalam kawasan hutan.
“Dari dulu, UE itu memang berusaha mencegah sawit Indonesia untuk masuk ke kawasan Eropa melalui banyak persyaratan. Dan, EUDR merupakan bentuk dari non tariff barriers, nonprice competition. Solusinya, Indonesia jangan bergantung ke pasar UE, bagi yang mampu memenuhi silahkan, tapi bagi yang tidak bisa, masih banyak pasar lain,” ujar dia.
Menurut Tungkot, dengan kebijakan EUDR yang kompleks, bisa jadi hanya sebagian kecil perusahaan di Indonesia yang mampu memenuhi regulasi itu. Apalagi, isu yang berkembang kini tidak hanya deforestasi, tapi juga degradasi lahan hutan.
Indonesia melalui perhutanan sosial berupaya mengembangkan kayu dengan tanaman lain, seperti kopi. Padahal perubahan status hutan primer bisa masuk kategori degradasi. Di sisi lain, dalam ketentuan EUDR, komoditas harus diproduksi dengan mematuhi aturan berlaku di negara setempat.
“Ada sekitar 33 peraturan perundangan terkait sawit. Mari kita check list mana yang kita tidak comply. Semua kena (EUDR), termasuk yang besar-besar (perusahaan). Apakah semua memenuhi syarat kewajiban plasma 20%, paling hanya PTPN. Belum lagi terkait Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan ketenagakerjaan. Jadi, cari pasar lain dan lebih baik perkuat pasar dalam negeri,” papar dia. (SDR)