JAKARTA – Perubahan kondisi produksi minyak kelapa sawit saat mendorong pemberlakuan kebiijakan Domestic Market Obligation (DMO) tidak perlu dilanjutkan. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan produksi CPO sekarang jauh lebih besar jika dibandingkan volume konsumsi.
Selain kondisi produksi sudah lebih baik, Eddy Martono juga menyoroti tambahan beban biaya dari kebijakan DMO yang berada di kisaran USD 20 per ton. “Kebijakan tersebut lebih tepat (diberlakukan) pada waktu harga tinggi, sehingga dikhawatirkan pasokan dalam negeri kurang,” kata Eddy Martono seperti dikutip dari Kontan di Jakarta pada 24 Januari 2024.
Produksi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) tahun ini diprediksi mencapai 53 juta -55 juta ton. Sedangkan konsumsi DMO bisa berubah tergantung kebijakan pemerintah. “Ya itu (penyerapan DMO) tergantung berapa (minyak sawit) yang diekspor dan berapa proporsi yang diwajibkan pemerintah. Itu bisa berubah tergantung pemerintah,” katanya.
Selama ini, konsumsi minyak goreng sekitar 20 kilogram/kapita/tahun, Indonesia memerlukan sekitar 5.4 juta kilogram minyak goreng sawit setiap tahun.
Sebagaimana kita ketahui, kebijakan DMO, termasuk juga DPO diberlakukan sejak 2022 pada pasar minyak goreng domestik sebagai respon atas krisis minyak goreng domestik yang terjadi sejak bulan Januari 2022. Krisis minyak goreng domestik ditandai dengan kenaikan harga dan langkanya minyak goreng di pasar domestik. Harganya melonjak hingga pernah mencapai Rp 18,850/kilogram pada awal Mei 2022.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan mengubah DMO minyak goreng dari 450 ribu ton per bulan menjadi 300 ribu ton per bulan sejak Mei tahun lalu. Kemendag juga mengubah insentif pengali ekspor DMO minyak goreng dan turunannya menjadi 1:4. Adapun, rasio sebelumnya yaitu 1:6.
Meski menurunkan rasio pengali ekspor CPO, kebijakan DMO juga menaikkan insentif pengali ekspor untuk minyak goreng kemasan bantal. Yakni dari yang sebelumnya 1,7 menjadi 2.
Lalu, untuk minyak goreng kemasan selain bantal insentif pengali ekspornya menjadi 2,25. (NYT)