Holding Perkebunan Nusantara (PTPN Group) sukses melakukan transformasi. Restrukturisasi besar-besaran yang dilakukan perusahaan plat merah ini berbuah manis. Hal ini terlihat dari kinerja keuangan perusahaan yang sebelumnya (2015-2020) mengalami kerugian, kini meraup keuntungan.
Pada 2021, BUMN perkebunan ini membukukan laba bersih konsolidasi sebesar Rp4,64 triliun. Angka ini naik sebesar 500% dibandingkan laba perusahaan 2020 karena pada saat itu, perusahaan merugi senilai Rp1,14 triliun.
Kinerja keuangan positif masih berlanjut hingga 2022, laba bersih konsolidasi PTPN Group mencapai Rp6 triliun atau naik sebesar 29% dari tahun sebelumnya, sekaligus menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah perusahaan.
Holding Perkebunan Nusantara terus melakukan berbagai inisiatif strategis guna mendukung transformasi perusahaan secara berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan peran subholding PalmCo, SugarCo (SGN), dan SupportingCo.
Dengan berbagai inisiatif strategi dan transformasi ini, perseroan optimistis akan terus tumbuh berkelanjutan di masa mendatang. Untuk menjalankan strategi bisnis ini, tentu saja peran pemasaran menjadi sangat penting.
Nah, seperti apa strategi pemasaran yang dilakukan PTPN Group? Berikut petikan wawancara SAWITKITA dengan Direktur Pemasaran PTPN Group Dwi Sutoro di Bogor, belum lama ini.
Bisa dijelaskan seperti apa transformasi yang dilakukan PTPN Holding?
Saya bergabung ke PTPN akhir 2019 dalam kondisi waktu performance perusahaan belum optimal. Bersama jajaran direksi lainnya di bawah kepemimpinan Dirut Holding PTPN, kami melakukan perbaikan secara fundamental. Mulai 2019 akhir kita banyak lakukan perubahan. Yang cukup signifikan adalah dulu itu PTPN ada mulai dari Aceh sampai Sulawesi yang punya lahan sampai Papua. Posisi PTPN itu berdasarkan lokasinya. Misalnya PTPN1, BOD (board of director) secara full, managing the company, dengan entity di Aceh. Sampai PTPN14 yang ada di Sulawesi.
Inisiasi untuk menggabung ke-14 PTPN tersebut sebenarnya sudah ada sejak 2014. Penggabungan ini perlu dilakukan sehingga menjadi perusahaan besar. Karena setelah digabung aset perusahaan mencapai 1,2 juta hektare (ha).
Perubahan dilakukan supaya kita keluarga besar PTPN bisa mengikuti apa yang terjadi di pasar, sehingga kita memulai dengan membangun mindset sebagai market driven organisation. Perjalanan masih panjang, tapi tidak ada salahnya untuk kita berani memulainya, untuk masa depan perusahaan besar ini.
Untuk menjalankan bisnis, untuk memenuhi pasar bisa dengan tata kelola yang berbeda. Kalau kita ikuti cara yang dulu ya tidak bisa. Mungkin cara yang dulu cocok untuk level kompetisi tidak seperti jaman 20 tahun terakhir ini. Itu yang kami lakukan.
Setelah itu apa yang dilakukan?
Walaupun secara legal entity, masih PTPN1 sampai PTPN14, tapi kita sepakat menyatakan bahwa kita harus mengelola perusahaan sebagai perusahaan besar yang menghadapi market secara bersama-sama sebagai satu perusahaan. Kita harus kontrol bersama karena kondisi saat itu, tahun 2019 kita rugi sekitar Rp2,5 triliun. Kita juga punya utang di atas Rp40 triliun.
Dengan dipimpin Pak M Abdul Ghani sebagai dirut yang sudah berpengalaman lebih dari 35 tahun di PTPN dan beberapa direksi yang baru, kita bersama-sama melihat aspek fundamental yang harus diubah. Karena bisnis utama kita komoditi, maka minimal dua hal yang harus kita mulai.
Pertama, cost kita harus seminimal mungkin sehingga komoditas yang kita hasilkan bisa lebih kompetitif. Produktifiras harus digenjot untuk menurunkan cost per ton produk. Kedua, kita harus memastikan kita mampu menjual komoditi mengikuti harga pasar atau lebih dari harga pasar.
Ini peran dari team pemasaran untuk selalu memastikan mampu menjual produk kita sama atau di atas harga pasar dengan “premium” yang bisa kita peroleh karena service dan kualitas produk kita termasuk karena sertifikasi sertifikasi produk yang sudah kita peroleh. Produktivitas, cost dan optimalisasi pemasaran menjadi langkah perbaikan fundamental yang telah dan sedang terus kita lakukan.
Peran holding seperti apa?
Waktu itu ada dua fundamental yang kita lakukan dengan struktur yang masih sama yaitu legal entity dari masing-masing perusahaan PTPN 1-14 masih ada, tapi ada board holding yang oleh pemegang saham dikuatkan untuk mengatur itu. Revenue dari masing-masing perusahaan dikumpulkan jadi satu di holding.
Jadi aspek pemasaran dan keuangan di-handle oleh holding ya?
Semua aspek pemasaran dan penjualan digabung menjadi satu. Jadi bagaimana kita menghadapi pasar, bagaimana kita deal dengan pihak luar, bagaimana membaca pergerakan pasar itu di holding. Sementara di anak perusahaan itu fokus di operasional saja. Tugasnya adalah memproduksi mengoptimalkan aset yang ada untuk menghasilkan produk yang lebih tinggi.
Bisa dijelaskan seperti apa struktur organisasi di anak perusahaan pasca restrukturisasi?
Dengan support yang luar biasa dari Pak Erick Thohir (Menteri BUMN), kita mensimplifikasi struktur perusahaan di level anak perusahaan. Jadi dulu yang namanya PTPN 1 sampai PTPN 14 ya ada direktur pemasaran, direktur keuangan, direktur SDM.
Di awal 2020 kita ubah satu anak perusahaan satu direktur. Jadi yang fungsi pemasaran dan keuangan termasuk SDM hanya ada satu yaitu di holding. Yang ada di anak perusahaan namanya direktur. Direktur mewakili perusahaan di daerah masing masing karena legal entity, belum disebut. Direktur bertugas memanage operasional di anak perusahaan.
Aspek keuangannya?
Waktu itu utang kita cukup besar. Jadi keuangan dikontrol di holding. Jadi revenue kita kontrol, keluarnya harus kita kontrol juga. Utang semua dikumpulkan jadi satu dan dimanage oleh holding, sehingga secara kontrol budgeting adalah terpusat.
Belum lama ini ada sub holding PalmCo, restrukturisasi apa lagi yang dilakukan PTPN Group?
Mulai Desember 2023 kita mulai perubahan tahap kedua. Yaitu secara struktur perusahaan kita ubah. Jadi perusahaan itu bukan berdasarkan geo location, tapi kita memanage berdasarkan komoditi.
PTPN punya lima komoditas utama, yakni kelapa sawit, karet, gula, kopi, dan kakao. Kemudian dari lima komoditi tersebut dibagi menjadi tiga sub holding. Untuk sub holding kelapa sawit itu PalmCo yang kebunnya mulai dari Aceh sampai dengan Sulawesi. PalmCo yang memimpin melakukan bisnis secara end to end di bisnisnya kelapa sawit.
Selain PalmCo, juga ada SugarCo atau PT Sinergi Gula Nusantara (SGN), dan SupportingCo yang akan menjadi perusahaan pengelola aset perkebunan, mencakup kegiatan pemanfaatan aset perkebunan melalui optimalisasi aset dan pengelolaan tanaman perkebunan.
Karena strategi bisnis, kita membaca demand bisnis prosesnya sawit dengan tebu kan berbeda. Untuk sawit kita kan produsen terbesar di dunia. Produksi 50 juta ton minyak sawit, kita butuh hanya sekitar 20 juta ton, artinya suka maupun tidak suka Indonesia harus ekspor 30 juta ton.
Sementara gula kita importer terbesar di dunia. Karena untuk konsumsi kita butuh 3 juta ton, industri butuh 4 juta ton. Jadi kita setiap tahun itu butuh gula sebanyak 7 juta ton. Sedangkan produksi gula itu hanya 2,2 juta ton sampai dengan 2,5 juta ton.
Lantas peran holding seperti apa?
Jadi kami sebagai holding sedikit menarik diri, bukan sebagai operating holding lagi. Karena kalau operating holding yang kita terapkan 3-4 tahun terakhir itu juga secara strategi yang mikirin rencana bisnis dalam jangka panjang siapa. Ini baru masa transisi, baru 2 bulan. Kita punya target 6 bulan sampai 2 tahun proses merger di bawah ini smooth. Kalau sudah smooth nanti holding akan bertindak sebagai strategic holding tidak operating holding lagi sebagaimana kita terapkan sejak 2020.
Apakah perubahan ini juga mengganti orang yang berada di PTPN-PTPN yang ada di daerah?
Ini challenges dari seorang leader yang melakukan perubahan. Kita memetakan business process-nya, kemudian setiap business process itu membutuhkan leader seperti apa. Idealnya adalah kita punya internal talent leader yang tumbuh dari dalam perusahaan.
Tapi tidak menutup diri juga di beberapa fungsi yang membutuhkan leader dari luar untuk masuk memberikan dinamika yang berbeda untuk saling mendevelop bisnis ke depan supaya tidak hanya berpengalaman di sektor hulu saja, tetapi juga secara bisnis di hilir juga mengerti sehingga ada beberapa leader yang memang di ambil dari luar perusahaan. Ini ranahnya pemegang saham.
Pak Menteri BUMN yang dalam beberapa tahun ini mulai inject beberapa leader dari swasta, bank juga dimasukkan. Jadi pengkayaan bisnisnya itu bukan hanya berdasarkan pengalaman historis dia, tapi juga dikolaborasikan dengan leader yang background-nya berbeda. Tapi kalau ditotal masih tetap yang banyak berasal dari dalam.
PTPN memiliki produksi dari beberapa komoditi yang sangat besar. Seperti apa model pemasarannya?
Di dalam PTPN sendiri terjadi evolusi dalam 3-4 tahun yang lalu, termasuk aspek pemasarannya. PTPN 1 sampai dengan PTPN 14 itu punya anak perusahaan yang namanya PT KPBN. Jadi semua produk kita dijual ke sana, baik melakukan lelang dan sebagainya.
Kita melakukan evaluasi yang sangat besar tahun 2020. Jadi ini lebih bagaimana kita meyakinkan bahwa fungsi pemasaran adalah meyakinkan produk kita itu bisa diterima atau dijual ke pasar sesuai harga pasar.
Fungsi pemasaran yang kedua yakni mengoptimalkan. Kalau kita bisa menjual barang yang sama dengan harga yang lebih bagus dibanding produsen lain itu juga fungsi utama pemasaran, yakni mengoptimalkan pendapatan.
Untuk melakukan itu kita lakukan perubahan tata kelola. Jadi kita menetapkan KPBN itu sebagai pasar lelang atau tempat untuk lelang atau bisa kita sebut marketplace. Jadi marketplace-nya PTPN yang jualannya lewat lelang itu ada di KPBN.
Jadi semua penjualan melalui KPBN?
Jalur penjualan PTPN Group itu tidak hanya lewat KPBN. Untuk mendapatkan pendapatan yang optimal kita bangun juga B to B dengan big customers. B to B penjualan kita mulai dengan perusahaan-perusahaan besar, kita mapping demand dan supply commodity.
Kita lakukan kontrak dalam jangka panjang. Tapi yang dikontrak adalah volumenya dan harga mengikuti harga lelang saat pengiriman. Tetapi kalau ingin mendapatkan volume dari PTPN, anda harus memberikan harga premium dong. Kita secure volumenya, tetapi PTPN mendapatkan harga premium. Itu kita terapkan, dan hasilnya lumayan.
Jadi misalnya perusahaan A kita tahu punya demand 100.000 ton per tahun, kita approach. Kita akan deliver sebulan 10.000 ton ke perusahaan tersebut, guarantee demand tiap bulan kita kirim. Tetapi harga tetap mengacu pada lelang harian. Yang kita kunci adalah volumenya, harganya tetap mengacu pada harga lelang. Jadi KPBN tetap sebagai marketplace untuk harga acuan.
Harga lelangnya dari mana?
Untuk mendapatkan harga lelang supaya kita tahu bahwa istilahnya nggak dibodohi sama pembeli. Misalnya yang lelang tiga perusahaan, tapi perusahaan itu ternyata pemiliknya satu orang yang sama. Kita establish yang namanya divisi market analysis.
Tugasnya searching data tiap hari. Kerjaannya mengeluarkan yang namanya price indication untuk semua komoditi. Dasarnya dari pergerakan supply and demand dan price referent yang ada di beberapa tempat lelang dunia.
Tiap pagi tim ini mengeluarkan rekomendasi semacam harga acuan. Ini yang akan menjadi acuan sebagai price indication kepada KPBN. Itupun lewat sistem yang hanya bisa dibuka setiap jam 2 siang. Jadi lelang itu online tidak seperti dulu yang banyak orang datang ke KPBN. Jadi bidding-nya online dan instruksi yang mengeluarkan price index itu adalah dari holding tim analisa pasar.
Jadi misalnya ada 10 atau 15 perusahaan yang ikut lelang, kalau harganya di atas harga acuan itu ya pasti accept, tetapi kalau di bawah harga acuan, akan ada dua kemungkinan. Apakah PTPN sebagai pemilik barang karena mungkin kebutuhan cash flow dan sebagainya kita bisa, tetapi harus direktur yang memutuskan. Tidak secara sistem seperti itu, direktur approve di sistem boleh, misalnya harga tertingginya 10 sen di bawah harga acuan. Ya kita terima, tetapi harus direktur yang memutuskan.
Jadi ada berapa tipe penjualan?
Ada tiga tipe penjualan yang dilakukan PTPN, yakni pertama lelang. Kedua, long term contract (LTC) yang kita kunci volumenya, terutama kepada pembeli-pembeli besar. Ini kepada direct pemakai.
Ketiga, kalau produksinya lebih dan ada stok BO (bid offer). Misalnya, sekarang ada stok 100 ton, hari itu ada yang butuh siapa. Nah kita bisa negosiasi di situ. Tapi harganya minimal harga lelang. Jadi kalau ada orang yang nawar lebih tinggi dari harga lelang ya pasti kita kasih.
Kalau ekspor seperti apa?
Sama. Pada dasarnya, ekspor itu kebanyakan adalah karena kita dari produksi yang ada dikurangi untuk lelang. Lelang tidak bisa kita kontrol mau dikirim ke mana produk kita, tergantung pemenang lelang. Karena itu ada pembeli yang untuk ekspor juga, tapi yang melakukan ekspor adalah trader yang menang lelang.
Kemudian ada LTC. Sisa barang yang dijual melalui kedua mekanisme itu, kita juga melakukan ekspor tergantung dari bagaimana pergerakan harga pasar di luar. Tetapi itu tidak banyak. Jadi bisa saya katakan bahwa barang PTPN itu terjual sekitar 40% melalui lelang, LTC sekitar 30-40%, sisanya ekspor.
Ekspor kita lakukan, ini memang cukup pelik begitu ada istilah DMO (domestic market obligation). Karena sebelum kita ekspor sendiri, kita harus berkewajiban menjual minyak goreng dengan harga Rp14.000 per liter. Artinya itu yang harus kita hitung. Harga Rp14.000 itu adalah harga sampai konsumen akhir. (SDR)