BANDUNG – Selama ini industri pengolahan di Indonesia sangat bergantung pada importasi katalis. Tiap tahunnya, Indonesia mengimpor katalis senilai USD190 juta atau sekitar Rp2,85 triliun.
Ke depan impor katalis tersebut berpotensi untuk dikurangi atau bahkan ditiadakan seiring dengan akan beroperasinya pabrik Katalis Merah Putih yang diproduksi oleh PT Katalis Sinergi Indonesia di Kawasan Industri Cikampek, Jawa Barat.
Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengatakan katalis dapat digunakan untuk berbagai industri kimia dasar, termasuk oleokimia hingga bahan bakar. “Kalau kita memang mau maju dan bisa mandiri, sebaiknya pajak impor untuk katalis itu ditingkatkan, dan dana itu bisa dipakai untuk penelitian,” kata Sahat kepada wartawan di Bandung, Rabu (31/1/2024).
Adapun, impor katalis berasal dari negara-negara Eropa, Amerika Serikat (AS), dan China. Sahat menyesalkan kondisi ini, menurut dia, Indonesia memiliki kemampuan untuk memulai subtitusi impor zat kimia tersebut.
Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk menaikkan pajak impor katalis yang saat ini berada di kisaran 5-6% dari harga jual. Hasil pajak ini dapat digunakan untuk research and development (R&D) di laboratorium penelitian dalam negeri.
“(Pajak naik) bisa hemat devisa dan kemapanan industri, kalau mereka setop itu ekspor katalis, selesai kita,” ujarnya.
Sahat juga menyebut potensi pengembangan katalis oleh PT Katalis Sinergi Indonesia yang dalam waktu dekat akan meresmikan pabrik katalis pertama di Indonesia. Olahan katalis merupakan hasil dari para peneliti dari Kelompok Keahlian Rekayasa Katalisis dan Sistem Pemroses Institut Teknologi Bandung (ITB).
Lebih lanjut, dia mewanti-wanti praktik dumping yang dilakukan negara asal impor jika Indonesia mulai memproduksi katalis. Menurut dia, harga impor katalis bisa lebih murah 30-35% dari harga awal.
Kepala Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis ITB, Melia Laniwati Gunawan menyampaikan peran katalis penting karena dibutuhkan 90% industri kimia. “Di negara lain, mereka bikin katalis untuk keseluruhan industri kimia. Kalau mereka berhenti ekspor, maka industri kimia yang ada di Indonesia akan mati,” ujarnya.
Salah satu penggunaan katalis yang telah berhasil diujicobakan pihaknya yaitu bensin sawit (Bensa) dan bioavtur. Adapun, bensa yang diproduksi memiliki RON sekitar 110-115 dan berhasil digunakan untuk bahan bakar sepeda motor, meskipun belum dikomersialkan.
Adapun, Kelompok penelitian ini memiliki kapasitas produksi 1.000 liter CPO per hari yang dapat menghasilkan 500 liter bensa per hari. “Kami pernah coba 3 bulan 24 jam, kemarin dapat 200 liter. Bisa lebih, tapi ini penelitian. Jadi banyak dikotak-katik, bukan produksi,” tuturnya.
Di sisi lain, Ketua Kelompok Keahlian Rekayasa Katalisis dan Sistem Pemroses ITB, IGBN Makertihartha mengatakan nilai keekonomian bensin sawit masih tinggi yakni di kisaran Rp20.000 per liter dengan RON 110-115.
“Tetapi, itu bisa kita rancang. Bensa dengan RON tinggi ini dicampur dengan naphta berkualitas rendah dengan RON 70 dari olahan rakyat, itu bisa naik RON 90 setara pertalite. Jadi yang tadi harganya Rp20.000 per liter, bisa jadi lebih murah,” katanya. (SDR)