JAKARTA – Hari ini bangsa Indonesia menggelar pesta demokrasi. Hajat besar ini untuk memilih pemimpin terbaik dan wakil rakyat yang ada di parlemen.
Terdapat tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres) 2024 ini. Mereka yakni pasangan 01 yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, pasangan 02 yaitu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan pasangan 03 adalah Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
Harapan rakyat pun ditambatkan kepada ketiga pasangan ini. Pun demikian dengan insan perkelapasawitan di Tanah Air.
Rumah Sawit Indonesia (RSI), perkumpulan para pelaku pengusahaan kelapa sawit berharap penanganan kelapa sawit tidak sektoral. “Siapapun nanti yang menjadi presiden dan wakil presiden, penanganan kelapa sawit ini tidak bisa sektoral saja dalam arti pada segmentasi tertentu saja,” kata Ketua Umum RSI Kacuk Sumarto kepada SAWITKITA.
“Melihat persoalan sawit itu tidak bisa dari sisi minyak goreng saja atau dari CPO saja, dari PSR-nya saja. Tidak seperti itu, tapi harus dilihat secara keseluruhan dari seluruh mata rantai pasoknya,” kata Kacuk Sumarto.
Jadi kalau mengambil kebijakan mengenai minyak goreng harus dipertimbangkan dampak-dampaknya terhadap para pelaku yang di perkebunan termasuk para petani, jasa pengangkutannya, jasa penyediaan pupuknya dan sebagainya. “Jadi penangangan tidak pada sektor-sektor atau segmen-segmen tertentu saja,” katanya.
Kedua, terkait dengan penanganan itu, memandang sawit itu dari hulu hingga hilir. Jadi kalau ingin mendapatkan pengusaha sawit di negeri kita ini baik, maka kita harus melihat dari sisi hulu dan hilirnya. Seluruh mata rantai pasok harus dilihat. “Jadi di hilir ini harus ada pengembangan produk, dan harus ada hilirisasi,” tutur Kacuk Sumarto.
Terkait dengan hilirisasi sawit ini, kata Kacuk Sumarto, sebenarnya sudah tidak saatnya lagi kita ekspor dalam bentuk CPO, namun sudah menjadi produk-produk olahan sehingga nilai tambahnya itu berada di dalam negeri. “Ke depan hilirisasi juga harus sampai pada level petani. Jadi petani itu tidak lagi jual TBS, tapi minimum jual CPO. Ini tentunya akan menambah pendapatan petani, akan mengurangi biaya-biaya logistik,” paparnya.
Selanjutnya dari sisi hulu yang harus ditata adalah peremajaan sawit rakyat (PSR). Di mana penataan PSR ini untuk mendapatkan potensi peningkatan produksi yang sangat tinggi. Misalkan saja perhitungannya 3 ton setara CPO/ha/tahun. Diperkirakan saat ini produktivitas petani itu rata-rata hanya 2-2,5 ton CPO/ha/tahun. Sementara perusahaan itu rata-rata 5,5 ton CPO/ha/tahun. Dengan demikian per ha-nya ada selisih 3 ton CPO/ha/tahun.
Kalau ini ditangani melalui PSR yang baik, maka potensi peningkatan produksinya adalah 3 ton CPO dikalikan luas lahan petani sekitar 6,5 juta ha. “Jadi akan ada tambahan kurang lebih 20 juta ton CPO. Tentu ini akan ada memberikan tambahan kesejahteraan bagi para petani kita,” katanya.
Di samping PSR tentu harus disertai penyediaan sarana dan prasarana. Misalnya saja pupuk, herbisida, fungisida dan sebagainya harus tersedia dengan baik dan terjangkau. Sehingga produktivitas maksimal itu bisa diperoleh. Dan tentu ini harus juga diiringi dengan peningkatan kualitas dari SDM.
Khusus untuk petani ini di satu sisi ada tuntutan peremajaan, di sisi lain adalah perlunya hilirisasi, maka petani itu harus melalui proses yang namanya korporatisasi petani. Di mana petani individual itu dihimpun kelompok-kelompok petani kecil yang kemudian menjadi koperasi petani kelapa sawit.
Kalau sudah koperasi tentu menjadi badan hukum yang memadai untuk melakukan transaksi bisnis. “Yang tak kalah pentingnya juga adalah permudah legalitas lahan para petani,” katanya. (SDR)