JAKARTA – Industri kelapa sawit Indonesia menghadapi tekanan ganda di pasar global. Selain harus berhadapan dengan tarif impor tinggi dari Amerika Serikat (AS), ekspor sawit juga terancam oleh regulasi baru Uni Eropa terkait deforestasi.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menyebut tarif impor sebesar 32% yang diterapkan AS telah melemahkan daya saing ekspor sawit nasional ke negara tersebut. “Tarif ini menjadi hambatan besar bagi kami untuk menjaga posisi di pasar Amerika,” kata Eddy dalam diskusi di Shangri-La Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (10/6/2025).
Tak hanya hambatan tarif dari AS, sektor sawit dalam negeri juga tengah berhadapan dengan tantangan di pasar Eropa. Uni Eropa memberlakukan The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR), aturan ketat yang mensyaratkan semua produk sawit harus terbukti bebas deforestasi.
Baca Juga: Pungutan Ekspor CPO Naik, GAPKI: Sawit RI Tak Kompetitif
“Komoditas sawit menjadi salah satu produk yang dianggap menyebabkan deforestasi. Sehingga perlu sertifikasi ketat yang membuktikan produk sawit dari Indonesia bebas dari deforestasi,” ujar Eddy.
Ia menambahkan, dampak aturan ini tidak hanya dirasakan oleh pengusaha besar, tetapi juga petani kecil di Indonesia. Meski GAPKI bersama pemerintah aktif berkomunikasi dengan Uni Eropa dan mengembangkan sistem nasional untuk memastikan kepatuhan, risiko terganggunya akses pasar tetap menjadi kekhawatiran utama.
Sementara itu, dari sisi produksi, industri sawit Indonesia juga menghadapi tantangan stagnasi. GAPKI mencatat produksi minyak sawit Indonesia hanya tumbuh rata-rata 0,42% per tahun dalam lima tahun terakhir, yaitu sepanjang 2020 hingga 2024.
Baca Juga: GAPKI Proyeksi Produksi Minyak Sawit Tumbuh Tipis 3%
Sebaliknya, konsumsi domestik mengalami lonjakan hingga 7,4%, dipicu peningkatan permintaan dari sektor pangan sebesar 3,1%, oleokimia 18%, terutama selama pandemi Covid-19, dan program biodiesel 14,8%.
“Permintaan minyak sawit di dalam negeri diproyeksikan sebesar 26,1 juta ton pada tahun 2025. Hal ini akan semakin membatasi volume ekspor,” ujar Eddy.
Di luar tantangan regulasi, ketidakstabilan geopolitik juga menjadi faktor penghambat ekspor. Konflik India-Pakistan misalnya, turut mengganggu rantai pasok ke India, salah satu importir utama sawit Indonesia.
Baca Juga: GAPKI Optimistis Ekspor CPO ke Rusia Bisa Tembus 1 Juta Ton
Selain itu, ketegangan dagang antara AS dan China menciptakan ketidakpastian yang dapat memengaruhi harga komoditas global. Konflik di Timur Tengah juga berkontribusi menaikkan harga minyak dan mengganggu jalur pelayaran penting, yang pada akhirnya meningkatkan biaya transportasi dan energi untuk industri sawit nasional.
“Konflik Timur Tengah yang terus-menerus menaikkan harga minyak dan mengganggu jalur pelayaran penting, secara langsung meningkatkan biaya transportasi dan energi untuk industri kita,” kata Eddy. (REL)