JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memangkas tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Namun demikian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan volume biodiesel yang mendapatkan insentif pada 2024 tetap berada pada level 13,4 juta kiloliter (kl).
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo mengatakan insentif biodiesel, yang bertujuan untuk menutup selisih harga indeks pasar (HIP), tidak mengalami perubahan.
Baca Juga: Pemerintah Pangkas Pungutan Ekspor CPO
“Untuk insentif biodiesel tidak ada perubahan kebijakan. Dari Kementerian ESDM menyampaikan alokasi volume, untuk 2024 sebesar 13,4 juta kl,” ujar Edi di Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Diketahui, pungutan ekspor CPO memang berhubungan erat dengan pengembangan biodiesel. Pasalnya, setoran pungutan ekspor yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk sebagian disalurkan guna mendanai produksi biodiesel di dalam negeri.
Dengan demikian, kebijakan penyesuaian pungutan ekspor CPO, yang baru diberlakukan Kemenkeu dinilai dapat menjadi tantangan bagi pendanaan program mandatori biodiesel di dalam negeri.
Baca Juga: Pungutan Ekspor CPO Dipangkas, Subsidi Biodiesel Terancam?
“Pemangkasan pungutan ekspor ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait dengan masa depan keberlanjutan program biodiesel di Indonesia. Dana yang dikumpulkan dari pungutan ekspor selama ini digunakan untuk mendanai subsidi biodiesel,” kata Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik Universitas Pembangunan Negeri Veteran Jakarta (UPNJ) Achmad Nur Hidayat.
Dalam sebuah kesempatan, BPDPKS melaporkan realisasi insentif biodiesel adalah sebesar Rp146,56 triliun untuk 48,19 juta kl untuk periode 2015 sampai Mei 2023.
“BPDPKS diamanahkan menanggung atau membayar selisih harga antara harga biodiesel dengan harga solar. Sekarang harga sawit untuk biodiesel relatif lebih tinggi daripada solar sehingga ada gap, ini yang kita tutup,” ujar Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman.
Baca Juga: BPDPKS Masih Evaluasi Turunnya Pungutan Ekspor CPO
Eddy mengatakan tugas utama BPDBPKS adalah menjalankan program pengembangan sawit berkelanjutan. Untuk dapat menjalankan program tersebut, dibutuhkan suatu pendanaan yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 juga diberikan kewenangan kepada BPDPKS untuk menghimpun dana yang khususnya berasal dari pungutan ekspor.
“Artinya dari setiap kegiatan ekspor CPO dan produk-produk turunanya itu dikenakan pungutan ekspor. Dari situ BPDPKS mendapatkan dana untuk dikelola dan didistribusikan kepada program pengembangan sawit berkelanjutan,” ujar Eddy Abdurrachman.
Sejak 2015 sampai Mei 2023, Eddy mengatakan, sudah dapat memungut pungutan ekspor yang akan dijadikan sebagai dana untuk membiayai program-program pengembangan sawit berkelanjutan sekitar Rp186,6 triliun. Kemudian, dana tersebut dikelola dan digunakan untuk mendanai program-program sawit berkelanjutan.
Selain untuk insentif biodiesel, dana tersebut digunakan mendanai program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sebesar Rp7,78 triliun untuk seluas 282,409 hektare (ha); penyediaan sarana dan prasarana PSR sebesar Rp72,3 miliar; pengembangan sumber daya manusia (SDM) Rp356,52 miliar; dan penelitian dan pengembangan Rp519,67 miliar.
Untuk diketahui, pemangkasan pungutan ekspor CPO yang diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62 Tahun 2024. Adapun, pemangkasan pungutan menjadi USD63/ton dari USD90 per ton untuk September. Pungutan untuk produk kelapa sawit olahan akan berkisar antara 3% dan 6%. Peraturan baru ini berlaku mulai 22 September.
Referensi atas pungutan—rata-rata tertimbang berdasarkan harga minyak kelapa sawit — ditetapkan setiap bulan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menghitung bea keluar.
Baca Juga: BPDPKS Dukung Sertifikasi ISPO Petani Sawit
Mengutip data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), yang dilansir Rabu (25/9/2024), ekspor CPO dan produk turunannya terus mengalami tren penurunan. Total ekspor CPO dan produk turunannya mengalami penurunan menjadi 2,24 juta ton pada Juli 2024 dari 3,38 juta ton bulan sebelumnya atau turun sebesar 1,14 juta ton, setelah naik pada sebelumnya dengan 1,42 juta ton.
Penurunan terbesar terjadi pada produk olahan CPO yang turun sebesar 648.000 ton dari 2,23 juta ton pada Juni menjadi 1,58 juta ton pada Juli, diikuti CPO yang turun dengan 477.000 ton menjadi 174.000 ton.
Walhasil, nilai ekspor juga anjlok menjadi USD1,97 miliar dari USD2,79 miliar pada Juni, meskipun harga rata-rata CPO naik dari USD1.011/ton pada Juni menjadi USD1.024/ton cif Roterdam pada Juli. (ANG)