JAKARTA – Pemerintah telah memangkas tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari semula berlaku maksimal 11% menjadi hanya 7,5%. Beleid tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62 Tahun 2024.
Direktur Utama (Dirut) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman, kebijakan tersebut akan mengancam kelangsungan program mandatori biodiesel. Pasalnya, di tahun-tahun berikutnya penerimaan dana BPDPKS untuk subsidi biodiesel akan dipastikan akan semakin menurun.
Baca Juga: Ini Dia Sembilan Jenis Bantuan Sarpras bagi Petani Sawit
Untuk diketahui, selama ini subsidi biodiesel diambil oleh BPDPKS dari pungutan ekspor CPO dan produk turunannya sehingga secara tidak langsung pemangkasan pungutan ekspor CPO akan berpengaruh pada penurunan pendapatan BPDPKS untuk subsidi biodiesel.
“Kalau kita di 2025 untuk B40, saving kita (dari pungutan ekspor) itu Rp2 triliun lagi. Tapi kemampuan keuangan kita semakin menurun untuk membiayai program-program (biodiesel),” ungkap Eddy di Jakarta, Selasa (24/9/2024).
Baca Juga: Lembaga Ini Sebar Ratusan Miliar Beasiswa, Kuotanya 3.000 Orang
Apabila pemerintah ingin melanjutkan mandatori biodiesel yang lebih tinggi, misalnya B50, B60 dan seterusnya. Eddy mengungkapkan pemerintah harus mencari solusi lain sehingga tidak bergantung pada pemasukan dari pungutan ekspor.
“Kalau kita ingin menggunakan bahan bakar yang lebih green ya kita harus bayar yang lebih besar, atau ada inovasi lain seperti penerapan carbon tax. Nanti hasilnya untuk subsidi yang green (bahan bakar) tadi,” kata dia.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, mengatakan PMK Nomor 64 Tahun 2024 akan kontra produktif mendukung program biodiesel selanjutnya kendati hal itu juga berdampak positif pada industri sawit.
Baca Juga: Biar Riset Sawit Aplikatif, Ini yang Dilakukan BPDPKS
“Sisi buruknya adalah dana BPDPKS yang dikumpulkan dari pungutan ekspor juga akan lebih terbatas atau lebih sedikit. Artinya ini kaitannya dengan rencana pemerintah untuk transisi energi ke biofeul,” kata Faisal.
Oleh sebab itu, dia menilai jika kebijakan yang diambil harus klop dan jangan sampai kontra produktif. “Ingin mendorong energi baru terbarukan termasuk di antaranya biofuel, tapi kemudian pendanaan program B40 dan seterusnya berkurang. Itu yang harus dilihat lebih jauh dampaknya,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung menanggapi bahwa pemangkasan pungutan ekspor CPO bakal berdampak pada terganggunya keberlanjutan transisi energi. Menurut dia, penurunan pungutan ekspor sawit berpotensi mengurangi ketersediaan pembiayaan subsidi biodiesel dan bisa mengganggu keberlanjutan transisi energi.
Baca Juga: BPDPKS Dukung Sertifikasi ISPO Petani Sawit
“Karena besarnya insentif atau subsidi untuk mandatori biodiesel sampai saat ini masih tergantung pada selisih harga biodiesel dengan harga solar impor. Selama ini subsidi biodiesel dibayar dari dana sawit atau pungutan ekspor sawit tadi,” ucap Tungkot.
Sebagai informasi, PMK Nomor 62 Tahun 2024 berbeda dengan peraturan sebelumnya yakni PMK Nomor 154 Tahun 2022. Sebelumnya, tarif pungutan ekspor dikelompokkan berdasarkan rentang harga CPO dengan pungutan yang berkisar dari USD85 hingga USD240 per ton.
Saat ini pungutan tidak lagi bersifat progresif, yakni tarif pungutan ekspor telah ditetapkan berdasarkan persentase dari harga referensi CPO yang ditetapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag). (ANG)