JAKARTA – Sebagai salah satu perusahaan kelapa sawit terintegrasi terbesar di dunia yang beroperasi di 13 negara, PT Musim Mas menaruh perhatian besar pada cara petani tradisional membuka ladang dengan cara membakar. Bagi petani, membakar lahan adalah cara paling praktis, ekonomis, dan tidak perlu banyak tenaga. Tapi, risikonya pada keselamatan manusia dan lingkungan. Bahkan, pada lahan itu sendiri. Struktur dan tekstur tanah rusak. Hasil panen jadi tidak sesuai harapan.
Kondisi menahun itu yang mendorong Musim Mas yang mengelola 18 pabrik kelapa sawit ini bergerak. Para petani harus diedukasi dan dibina. Apalagi perusahaan yang berkantor pusat di Medan, Sumatera Utara ini bersentuhan langsung dengan ribuan petani swadaya. Sejak tiga tahun lalu, program Training for Smallholdersdikenalkan. Petani dibina, didampingi tentang cara bertanam dan merawat sawit berkelanjutan agar hasil panen semakin baik.
“Program ini bentuk kontribusi sosial perusahaan untuk petani kecil yang berkebun sawit,” kata Reza Rinaldi Mardja, Indonesia Communication Lead PT Musim Mas di Jakarta awal Mei lalu. Lewat program yang dijalankan sejak 2015 ini, Musim Mas mendorong petani kecil berkembang menjadi petani pengusaha. Indikasinya hasil panen melimpah, kualitas tanda buah segar (TBS) yang dihasilkan sesuai standard industri.
Metode membuka lahan yang benar harus dikenalkan di tahap awal. Berikutnya bagaimana memilih bibit sawit berkualitas dan bersertifikat. Cara perawatan juga diajarkan sekaligus juga didampingi. Intinya, para petani diajak untuk mengadopsi praktik budidaya sawit berkelanjutan. Yang tidak kalah penting para petani itu nantinya mampu meraih sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) maupun RSPO (Rountable on Sustainable Palm Oil).
Seluk beluk pengelolaan sawit ala industri ini perlu diajarkan karena petani punya keterbatasan tentang Good Agricultural Practices (GAP). Mereka juga dikenalkan dengan konsep NDPA yaitu produksi sawit tanpa deforestasi atau menggunduli hutan, tidak membuka lahan baru dengan cara pembakaran, dan tidak menanam di lahan gambut. Mereka diajak mengoptimalkan lahan yang ada ketimbang membuka lahan baru.
Untuk mempraktekkan pengelolaan sawit berkelanjutan itu, para petani punya benchmarki dan role model, ya PT Musim Mas sendiri. Perusahaan ini sudah mengantongi sertifikat RSPO dan ISPO karena sukses menerapkan pengelolaan dan produksi sawit secara berkelanjutan. Hal ini menjadi modal utama untuk membantu petani swadaya secara langsung di lapangan. Edukasi dan pendampingan para petani swadaya ini dilakukan di berbagai daerah. “Meskipun di sana tidak ada kebun kami,” katanya.
Training for Trainers: Smallholders Hub
Program Training for Smallholders ini mulai membuahkan hasil. Tidak kurang dari 3.500 petani swadaya binaan PT Musim Mas sukses meraih sertifikasi RSPO dan 1.400 petani mempu meraih sertifikasi ISPO. Sertifikasi ini teramat penting. Petani yang memiliki sertifikasi ini lebih mudah menjual hasil panennya. Akses finansial ke lembaga keuangan lebih mudah. “Akses ke pasar global juga jadi terbuka,” kata GM Corporate Affairs PT Musim Mas, Teuku Kanna Rhamdan.
Sukses program untuk petani swadaya itu hanya satu babak. PT Musim Mas menyiapkan progam berikutnya. Training for Trainers: Smallholders Hub namanya. Cakupan program ini lebih luas karena melibatkan pemerintah, petani swadaya yang sudah tersertikasi, petugas penyuluh lapangan (PPL), dan pihak terkait lainnya. Targetnya jelas. Petani swadaya di berbagai daerah semakin paham dan ahli tentang pengelolaan sawit berkelanjutan.
Program ini makin melebarkan sayap kontribusi sosial PT Musim Mas ke pelosok Nusantara. Lebih dari 40.000 petani swadaya terjangkau dan mengikuti program ini. Meraka tersebar di tujuh provinsi: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Semakin banyak yang terlibat dalam program ini tentulah makin baik karena semakin banyak pula yang menjaga keberlangsungan lingkungan.
Bagi Musim Mas, memberdayakan petani swadaya bukan sekadar kewajiban, tapi kebutuhan. “Eksistensi dan keberlanjutan kelapa sawit ada di tangan petani,” katanya. Dari 14 juta hektar kebun sawit di Indonesia sekarang, 40% merupakan kebun rakyat swadaya. Para petani inilah yang tidak terbatas waktu dalam mengelola kebun sawit. Berbeda dengan perusahaan yang punya batas waktu sesuai dengan izin Hak Guna Usaha (HGU). “Ini substansi kenapa petani swadaya harus dibantu, dilatih, dan didampingi,” kata Kanna.
Meski sudah membina puluhan ribu petani swadaya, kata Kanna, pihaknya tidak mematok target petani harus menjual hasil panen dan produksi sawitnya ke Musim Mas. Para petani bebas menentukan pilihan ke mana hasil panen dan hasil produksi sawit akan dipasarkan dan dijual. Petani binaan punya kewenangan penuh menentukan pilihan. “Sebagai perusahaan kami hanya berkontribusi melatih dan membina agar sama-sama menjaga lingkungan,” katanya.
Untuk pasokan bahan produksi, Musim Mas sudah memiliki kerjasama dengan para pemasok. Musim Mas mengelola 80 ribu hektar lahan kebun sawit (planted area) di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Hasil panen dari platend area ini hanya menopang 20% untuk memproduksi minyak goreng, biodiesel, gliserin untuk campuran produk pembersih, sabun, hingga campuran untuk makanan cokelat. “Sisanya dipasok oleh mitra kami,” katanya.
Sebagai kelompok bisnis yang besar, Musim Mas melayani bisnis hulu dan hilir dalam industri kelapa sawit. Dari perkebunan, pabrik pengolahan, kilang, penggilingan inti sawit, oleokimia, dan pabrik specialty fats, Musim Mas memproduksi minyak sawit dan produk turunannya untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Saat ini, Musim Mas adalah pengekspor minyak sawit terbesar di Indonesia.
PT Musim Mas yang memulai bisnisnya di Medan sebagai produsen Sabun Nam Cheong pada 1932 kini berkembang menjadi perusahaan besar. Kontribusi sosialnya tidak hanya untuk petani swadaya, namun juga kaum perempuan. Desa-desa dengan radius 3 kilomter dari kebun juga diajak bersama-sama menjaga lingkungan dengan program masyarakat bebas api. Mereka yang berhasil menjaga dari potensi kebakaran diganjar apresiasi Rp 25 juta. “Sudah ada 35 desa di Kalimantan dan Sumatera dan mendapatkannya,” kata Kanna. (SDR)