JAKARTA – Terkait polemik kebijakan peluncuran bursa CPO yang dijadwalkan pada Juni 2023, sejumlah kalangan termasuk anggota Komisi VI DPR RI meminta pemerintah tidak terburu-buru dalam menerapkan kebijakan baru yang bisa berdampak pada petani sawit. Terlebih lagi, regulasi yang terkait dengan komoditas strategis serta hubungan internasional, pemerintah wajib melindungi kepentingan petani lokal.
Firman Subagyo, Anggota Komisi VI DPR RI, menilai pemerintah harus hati-hati dalam membuat satu kebijakan terkait komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang akan dimasukkan dalam bursa. “Karena ini bersinggungan dengan kepentingan petani, yang notabene mereka memiliki jutaan hektare lahan yang mereka belum paham mengenai mekanisme dan metodologi bursa komoditi,” ujarnya saat dihubungi SAWITKITA pada Kamis (25/5/2023).
Menurut dia, kalau berbicara bursa komoditi, ada regulasi-regulasi yang harus ditaati baik itu regulasi tingkat nasional maupun tingkat internasional. “Nah pertanyaan, apakah kita siap tidak? Kalau tidak siap, ini akan menimbulkan persoalan baru mengingat yang namanya CPO ini kan komoditas yang sangat strategis,” paparnya.
Oleh karena itu, Firman menegaskan, pemerintah jangan terlampau tergesa-gesa, tapi harus dibuat simulasi dan dibicarakan dengan para stakeholders. “Hal-hal seperti ini harus dikaji pemerintah, agar jangan sampai nanti gagasan yang bagus justru tidak bermanfaat karena ketidaksiapan kita sendiri,” jelasnya.
Dia menilai pemerintah biasanya membuat regulasi dengan mengikuti tren, tapi tidak ada kajian yang mendalam dan mendasar, serta tidak ada kajian detail tentang kesiapan stakeholders seperti apa. “Ini yang saya khawatirkan,” ujarnya.
Pelaku usaha baik yang kecil, menengah, dan besar, harus diajak bicara terkait masalah bursa saham komoditas. Dia mempertanyakan apakah pelaku usaha yang kecil seperti petani sawit mengerti bagaimana regulasi bursa komoditas, lalu apa saja yang harus dipersiapkan.
Untuk itu, Firman mendesak Kementerian Perdagangan untuk tidak memaksakan kebijakan barus diterapkan secara terburu-buru. “Stakeholders harus dilibatkan agar sesuatu yang tujuannya baik, dapat berjalan baik, dan tidak ada yang dirugikan,” jelasnya. Di sisi lain, Firman juga mengusulkan adanya undang-undang khusus perkelapasawitan untuk melindungi komoditas strategis ini.
“Malaysia sudah punya Undang-Undang crude palm oil. Dengan adanya UU perkelapasawitan di Malaysia itu sangat bagus dan melindungi komoditas strategis mereka, sehingga tidak jadi persoalan di internasional karena jelas bahwa yang namanya sawit di Malaysia itu tanaman hutan, kalau di Indonesia kan masih belum ada regulasi itu,” pungkasnya. (SDR)