NUSA DUA – Produksi minyak sawit di Asia Tenggara diperkirakan melemah pada musim 2025–2026. Analis LSEG Singapore, Kian Pang Tan, menyebut penurunan ini terjadi akibat kombinasi kendala struktural di kebun, cuaca kering berkepanjangan, serta tekanan perdagangan global.
Tan menyoroti tekanan eksternal yang datang dari perlambatan ekonomi utama. IMF memprediksi ekonomi China turun ke 4,2% pada 2026, India ke 6,2%, Uni Eropa ke 1,1%.
“Tarif AS dan ketegangan perdagangan dengan China sudah mengganggu arus perdagangan dan memberikan tekanan yang semakin besar pada perdagangan internasional,” kata Tan dalam presentasinya di Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2025, Nusa Dua, Bali, Jumat (14/11/2025).
Baca Juga: Dominasi Minyak Sawit di Pakistan Terancam, Ada Apa?
LSEG memproyeksikan produksi Indonesia pada 2025-2026 turun dari musim sebelumnya. Penyebabnya masih sama, di antaranya pohon tua, replanting lambat, penegakan lahan, serta kemarau pertengahan tahun.
Malaysia juga diperkirakan turun tipis ke 19,2 juta ton, ditekan replanting yang hanya 2% dari target 4% serta gangguan penyakit dan hama. Thailand jadi satu-satunya yang naik, meski kecil, ke 3,58 juta ton dan berpotensi mencetak rekor.
Kembali ke Indonesia, musim kemarau Mei–Juli memberikan dampak terbesar di Aceh dan Sumatera Utara, wilayah yang menyumbang sekitar 14% produksi minyak sawit nasional. “Wilayah ini harus kita khawatirkan karena kekeringan berkepanjangan dapat berdampak pada musim 2035–2036,” jelas Tan.
Baca Juga: Kebijakan Tarif India Tak Efektif, Untungkan Sawit Indonesia?
La Niña yang berkembang juga bisa menambah gangguan panen karena curah hujan tinggi dan risiko banjir lokal.
Sementara itu, pasokan ekspor Indonesia diperkirakan turun 1,5–3 juta ton jika B50 berjalan penuh. Di Indonesia, konsumsi juga diperkirakan naik 1–3 juta ton, terutama dari program biodiesel.
“Rencana B50 dapat meningkatkan kebutuhan biofuel menjadi 19–20 juta kiloliter per tahun, dari 15,6 juta kiloliter saat ini,” kata Tan.
Kondisi itu membuka peluang bagi Malaysia untuk meningkatkan ekspor hingga 1 juta ton. Malaysia sendiri mencatat penurunan ekspor 9,5% pada Januari–Oktober, dipicu harga RBD yang lebih tinggi dibanding produk Indonesia. (SDR)

