JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto mencanangkan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit dalam rangka mendukung program ketahanan pangan dan energi terbarukan. Rencana Presiden tersebut dinilai sangat tepat mengingat produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) saat ini tidak cukup untuk mendukung program tersebut.
“Keinginan Pak Prabowo sangat tepat,” ujar Direktur Utama PT Perkebunanan Nusantara III (Persero) Muhammad Abdul Ghani kepada SAWITKITA di kantornya yang berlokasi di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (15/1/2025).
Menurut Abdul Ghani, sebagai sebuah negara, Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tidak banyak dimiliki oleh negara lain. Keunggulan yang dimaksud yakni kepemilikan komoditas kelapa sawit yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pangan, oleokimia, maupun bioenergi.
Namun demikian, gagasan Presiden Prabowo tersebut masih disalahpersepsikan oleh sebagian pengamat terutama dari aktivis lingkungan. Menurut mereka, rencana ini akan menyebabkan deforestasi dan merusak lingkungan.
Baca Juga: PTPN Genjot Produktivitas melalui Intensifikasi
Apakah demikian? Ternyata tak sepenuhnya benar. Menurut Abdul Ghani, perluasan kebun sawit tersebut justru akan dibarengi dengan reforestasi apabila dilakukan dengan cara yang benar dan dilengkapi dengan aturan pemerintah yang ketat justru akan memperluas keberadaan hutan lestari yang dikelola secara mandiri oleh perkebunan kelapa sawit.
Abdul Ghani mengusulkan strategi jitu dalam rangka mengaplikasikan gagasan Presiden Prabowo tersebut tanpa melakukan deforestasi dan justru bakal dibarengi dengan reforestasi atau membuat hutan baru yang memenuhi kriteria biodiversitas (keragaman hayati). Lantas, apa saja strategi yang dimiliki Abdul Ghani tersebut. Berikut petikan wawancaranya.
Presiden Prabowo Subianto mengatakan akan menambah lahan perkebunan kelapa sawit untuk mendukung ketahanan pangan dan energi terbarukan. Pernyataan Presiden ini menimbulkan perbincangan di masyarakat. Komentar Anda?
Terlebih dahulu saya ingin menjelaskan kondisi makronya. Sekarang ini konstelasi geopolitik global menghadapi ketidakpastian, dunia saat ini tidak baik-baik saja. Artinya apa? Ketidakpastian ini bisa mengancam kedaulatan negara.
Krisis global dapat terjadi kapanpun. Jika hal itu terjadi setiap negara akan menutup kran ekspor pangan dan energi karena pasti lebih mengutamakan kepentingan dalam negerinya masing-masing. Jadi, statement Pak Prabowo sangat tepat bahwa Indonesia harus memperkuat cadangan pangan dan energi baik melalui proses intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan hilirisasi.
Apakah ini ada kaitannya dengan kepentingan nasional kita?
Betul. Jika membahas kepentingan nasional Indonesia, kita perlu menginventarisasi sumber daya yang menjadi keunggulan strategis kita. Salah satu yang menonjol adalah kelapa sawit, sebuah komoditas strategis dengan daya saing global yang sangat kuat dan unik, yang tidak dimiliki oleh banyak negara lain.
Berbeda dengan komoditas ekspor ekstraktif seperti hasil tambang yang bersifat tidak berkelanjutan karena akan habis pada waktunya, kelapa sawit merupakan sumber daya terbarukan yang dapat terus dikelola untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus memperkuat posisi Indonesia di pasar global.
Lantas apa keunggulan komparatif kelapa sawit?
Menurut saya kelapa sawit merupakan komoditas strategis andalan, dengan produktivitas per hektar 5-8 kali lebih tinggi dibandingkan tanaman edible lainnya seperti kedelai, bunga matahari dan rapeseed. Kelapa sawit juga sangat luas penggunaannya dari mulai bahan pangan, industri (oleochemical) dan bioenergi
Di sisi lain, kelapa sawit hanya dapat dibudidayakan secara ekonomis di daerah tropis, yang jumlahnya tak banyak. Brasil, misalnya, sudah fokus mengembangkan tanaman tebu dan kedelai. Dengan demikian, sawit menjadi salah satu keunggulan utama yang dimiliki Indonesia di kancah global.
Bukankah kebun sawit kita sudah sangat luas?
Kebun sawit kita saat ini memang cukup luas, mencapai sekitar 17 juta hektare (ha). Namun, masalah utamanya adalah rendahnya produktivitas rata-rata nasional, yang hanya sekitar 2,8 ton CPO/ha/tahun, sehingga total produksi CPO nasional per tahun hanya mencapai 48 juta ton.
Sebagai perbandingan, produktivitas kebun PTPN saat ini sudah mendekati 5 ton/ha/tahun. Rendahnya produktivitas ini antara lain disebabkan oleh dominasi tanaman sawit tua yang dimiliki oleh petani rakyat, sehingga diperlukan percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Pemerintah telah mendukung program ini dengan meningkatkan bantuan dana PSR kepada petani menjadi Rp60 juta/ha, yang bersumber dari kutipan levy ekspor CPO yang dihimpun oleh BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit).
Dengan percepatan program PSR dan intensifikasi budidaya, diharapkan dalam satu-dua dasawarsa ke depan produktivitas kelapa sawit nasional dapat meningkat menjadi rata-rata 4 ton CPO/ha/tahun, sehingga mendukung peningkatan produksi dan daya saing sawit Indonesia.
Sebenarnya apa yang harus dilakukan pemerintah untuk memperluas kebun sawit, namun tidak harus melakukan deforestasi?
Isu utama terkait kelapa sawit adalah masalah deforestasi. Saat ini, total luas kebun kelapa sawit di Indonesia mencapai sekitar 17 juta hektare di mana 55% di antaranya dikelola oleh BUMN dan swasta yang memiliki HGU.
Namun, tidak semua areal HGU tersebut dapat ditanami kelapa sawit karena berdasarkan data riset yang kami miliki ada sekitar 20% dari areal HGU merupakan kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai), rawa, atau lahan dengan kemiringan terjal yang tidak layak tanam. Jika pemerintah mewajibkan kepada pemegang HGU untuk menghutankan kembali (reforestasi) areal tersebut maka terdapat potensi 2 juta hektare hutan baru yang memenuhi spesifikasi keanekaragaman hayati.
Baca Juga: Kejar Investasi Rp15 Triliun, Dirut PTPN Terbang ke China
Kebijakan ini perlu diawasi secara ketat oleh kementerian atau lembaga terkait untuk mencegah penyimpangan. Bagi pemilik HGU, reforestasi ini meningkatkan profil keberlanjutan mereka, yang dapat dimonetisasi. Sementara itu, bagi pemerintah, langkah ini menjamin bertambahnya hutan lestari yang pengelolannya menjadi tanggung jawab pemegang HGU.
Pemerintah hanya perlu mengawasi dan mensupervisi pelaksanaannya. Saat ini, karena regulasi yang belum cukup kuat, banyak areal marginal tersebut dikelola oleh masyarakat tanpa memperhatikan aspek konservasi.
Tapi ini kan belum bisa mencukupi kebutuhan swasembada biodiesel (B100)?
Belum mencukupi. Kebutuhan CPO untuk mencapai swasembada biodiesel (B100) saat ini diperkirakan sebesar 35 juta kiloliter (kL), sesuai dengan konsumsi solar nasional, dan diproyeksikan meningkat menjadi 60 juta ton pada 2045. Sementara itu, produksi CPO nasional saat ini baru sekitar 44 juta ton, dengan sekitar 30% di antaranya digunakan untuk kebutuhan pangan dan oleochemical, sehingga diperlukan peningkatan produksi CPO secara signifikan.
Berdasarkan data BPS, Indonesia masih memiliki potensi sebesar 12,8 juta hektare hutan industri yang dapat dikonversi, sebagian besar sudah kehilangan tutupan hutannya. Jika hutan tersebut diubah menjadi areal penggunaan lain dengan komposisi 60% untuk kebun kelapa sawit dan 40% untuk reforestasi, maka akan ada tambahan 8 juta hektare kebun kelapa sawit baru dan 4,8 juta hektare hutan lestari yang dikelola pemegang HGU.
Dengan demikian, total luas kebun kelapa sawit akan meningkat menjadi 25 juta hektare (17+8), sementara luas hutan lestari bertambah menjadi 6,8 juta hektare (2+4,8). Langkah ini tidak hanya mendukung swasembada biodiesel, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan.
Jadi dengan cara seperti itu selain melakukan reforestasi juga akan ada penambahan lahan untuk kelapa sawit ya?
Dengan cara tersebut, dalam 10-20 tahun ke depan, terdapat potensi peningkatan produksi CPO yang signifikan, mencapai lebih dari 100 juta ton per tahun (dengan asumsi 25 juta hektare x 4 ton/ha/tahun). Jika ditambah dengan produksi Malaysia sebesar 20 juta ton per tahun, total produksi CPO dari kedua negara dapat mencapai 120 juta ton, atau sekitar separuh dari total produksi edible oil dunia.
Kondisi ini memberikan peluang besar bagi Indonesia, bersama Malaysia, untuk menjadi penentu utama (prime mover) harga edible oil dunia, mengingat dominasi kedua negara dalam pasar global serta kontribusi yang sangat signifikan terhadap pasokan minyak nabati dunia.
Kok bisa?
Saat ini, total produksi edible oil dunia mencapai sekitar 210 juta ton yang dihasilkan dari 236 juta hektare tanaman penghasil minyak nabati. Kelapa sawit berkontribusi sebesar 90 juta ton (43%) meskipun hanya menggunakan 27 juta hektare lahan (11% dari total lahan edible oil).
Jika areal kelapa sawit diperluas menjadi 35,5 juta hektare secara global, produksi edible oil dunia diperkirakan meningkat menjadi 258 juta ton. Hal ini akan memperkuat posisi Indonesia, bersama Malaysia, sebagai prime mover atau penentu utama harga edible oil dunia, mengingat kontribusi signifikan kedua negara terhadap pasokan global.
Bagaimana peran kelapa sawit dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045?
Kelapa sawit memiliki peran kunci dalam mendukung visi Indonesia Emas 2045, dengan upaya-upaya peningkatan produksi CPO yang sudah saya sampaikan sebelumnya maka nantinya CPO nasional akan memenuhi kebutuhan biodiesel B100, mendukung kemandirian energi nasional.
Selain itu, limbah kelapa sawit, seperti tandan kosong dan limbah cair (Palm Oil Mill Effluent/POME), dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau bahan bakar pesawat terbang, untuk mendukung transisi menuju energi terbarukan dan pengurangan emisi karbon.
Kelapa sawit juga memastikan kebutuhan pangan dan oleokimia dalam negeri terpenuhi, memberikan kontribusi besar pada perekonomian. Dengan memaksimalkan potensi kelapa sawit, Indonesia tidak hanya dapat mencapai swasembada pangan dan energi, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pemimpin di pasar global, mendukung pembangunan berkelanjutan untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045. (SDR)