Kelapa sawit sejatinya bukan tanaman asli Indonesia namun dari Afrika. Keberadaan tanaman ini di nusantara bermula dari empat biji kelapa sawit yang dibawa oleh orang Belanda ke Indonesia dan ditanam di Kebun Raya Bogor pada 1848. Karena tanaman tersebut dapat tumbuh subur, maka sejak 1910 kelapa sawit dibudidayakan secara komersil dan meluas di Sumatera.
Walaupun bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan kelapa sawit sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia. Wajar saja demikian mengingat sejarah perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah terbentang cukup lama, yakni lebih dari 100 tahun.
Keberadaan kelapa sawit di Indonesia tidak dapat dianggap remeh, mengingat pada kenyataannya kini Indonesia merupakan produsen sekaligus konsumen terbesar minyak sawit di dunia. Indonesia menghasilkan 45,58 juta ton minyak sawit, mengekspor 25,62 juta ton dan mengonsumsi 18,4 juta ton minyak sawit. Minyak sawit sebanyak itu dihasilkan dari lahan seluas 16,8 juta hektare (ha) yang juga merupakan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia.
Industri kelapa sawit adalah salah satu sektor strategis yang menopang perekonomian Indonesia. Perkembangan industri kelapa sawit dianggap banyak kalangan sebagai suatu yang amat penting dari kebutuhan pokok.
Karena minyak sawit merupakan bahan baku dominan minyak goreng di dalam negeri dan merupakan salah satu kebutuhan essential masyarakat. Lebih jauh lagi bahkan terkini minyak sawit mentah (CPO) sudah digunakan sebagai bahan baku untuk biodiesel, salah satu alternatif energi baru terbarukan.
Pertanyaannya adalah, seberapa jauh negara menyikapi dan hadir terhadap keberadaan komoditi kelapa sawit yang sangat strategis ini? Untuk menjawabnya, marilah kita lihat filosofi tata kelola pemerintahan dan negara. Menurut saya, negara yang berhasil dan menang adalah negara yang membangun kebijakan unggul. Kebijakan publik menentukan keberhasilan sebuah negara apapun ideologi dan politiknya.
Lantas, mengapa kebijakan publik menjadi penting? Sebab kebijakan publik yang gagal akan membawa negara dalam bencana dan ketidakpercayaan publik. Tata kelola pemerintahan di suatu negara akan sangat bergantung pada kualitas undang-undang/regulasi sebagai dasar membuat kebijakan.
Kualitas undang-undang/regulasi yang baik maka akan menghasilkan tata kelola pemerintahan dan negara yang baik. Tetapi kualitas undang-undang/regulasi yang tidak baik maka akan menghasilkan tata kelola pemerintahan dan negara yang tidak baik.
Jika kita merunut amanat konstitusi UUD 1945, pasal 33 ayat 2 dinyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Pasal 33 ayat 3, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun demikian, hingga saat ini masih ada kekosongan hukum yang bisa memproteksi komoditi-komoditi strategis perkebunan kita. Padahal beberapa negara telah mempunyai regulasi untuk memproteksi komoditas strategisnya.
Misalnya saja Amerika Serikat mempunyai ketentuan yang melindungi komoditas kedelai, jagung, kapas dan gandum. Negara Turki memiliki undang-undang yang melindungi tembakau. Jepang mempunyai undang-undang yang mengatur tentang perberasan.
Bahkan negara tetangga kita Malaysia telah mempunyai undang-undang yang mengatur tentang perkelapasawitan. Bagaimana dengan Indonesia? Hingga saat ini kita tidak memiliki regulasi atau undang-undang yang secara khusus memproteksi kelapa sawit. Padahal kelapa sawit merupakan komoditas strategis nasional yang harus kita proteksi agar keberadaannya terus berlanjut hingga ke anak cucu kita kelak.
Tentu kita tidak ingin kejayaan kelapa sawit di Indonesia ini kelak hanya menjadi cerita atau catatan sejarah saja. Kita juga tidak ingin kejayaan kelapa sawit ini nasibnya sama dengan komoditas gula yang dulunya Indonesia merupakan eksporter, sekarang menjadi importer.
Perlu diketahui bahwa sawit merupakan komoditas strategis dan andalan penerimaan negara. Kontribusi minyak sawit adalah yang terbesar dalam penyediaan minyak nabati dunia. Rata-rata sumbangan devisa negara dari sawit sekitar Rp600 triliun pada 2022, menjadikannya sumber devisa tertinggi dari sektor nonmigas
Dari Sosial dan budaya sawit berperan dalam penurunan tingkat pengangguran dan banyak menyerap tenaga kerja. Bappenas pada 2018 menyebutkan, industri kelapa sawit mampu menyerap 16,2 juta orang tenaga kerja dengan rincian 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung. Selain itu, sawit juga dapat mengatasi kesenjangan di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
Di kalangan industri, kelapa sawit dikenal sebagai bahan baku olein & stearin, fatty acids, ester, surfactant/emulsifier, sabun mandi, lilin, lipstik kosmetik (lotion, cream), bedak dan shampoo. Semuanya mambutuhkan bahan baku industri dari sawit.
Sementara untuk produk olahannya, sawit bisa menghasilkan margarin, pasta gigi, selai coklat, coating fat, coffee whitener, pengisi susu, hingga krimmer biskuit. Semakin ke sini bahan pembuat pangan olahan banyak dibuat dari produk hilir sawit.
Perlindungan Komoditas Strategis
Perlu adanya wujud konkret pemerintah dalam mendukung industri kelapa sawit sebagai industri strategis nasional. Pengembangan lahan kelapa sawit dan dampak terhadap lingkungan berkaitan dengan banyak hal. Mulai dari perizinan, potensi terjadinya konflik lahan khususnya antara masyarakat setempat (adat) dengan perusahaan.
Banyak negara penghasil minyak nabati non-sawit menerapkan berbagai hambatan perdagangan (tarif dan non-tarif) terhadap minyak sawit. Karena itu diperlukan kerangka regulasi agar pemerintah dapat menghadapi berbagai hambatan perdagangan ini.
Komoditas yang berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional serta menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak dan berdampak pada kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia perlu diproteksi oleh satu undang-undang khusus yang mengatur tentang komoditas tersebut.
Walaupun dalam uraian di atas kita semua menyadari betapa besarnya kontribusi kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia, namun sampai sekarang belum ada regulasi khusus dari pemerintah dalam bentuk UU Lex Specialist kelapa sawit
Indonesia sebagai produsen utama kelapa sawit belum memperlihatkan keseriusan yang maksimal dalam industri kelapa sawit layaknya Malaysia yang memiliki Malaysian Palm Oil Board (MPOB). MPOB memiliki peran yang sangat besar dalam mengembangkan industri kelapa sawit di Malaysia.
Mulai dari penanaman (planting), publikasi, pengembangan, implementasi, peraturan, promosi, perdagangan (ekspor-impor), hingga aktivitas akademik seperti penelitian dan penerbitan jurnal ilmiah. Keberadaan MPOB di Malaysia merupakan wujud keberpihakan Pemerintah Malaysia terhadap industri kelapa sawit di Negeri Jiran tersebut.
Kehadiran sebuah regulasi yang khusus mengatur permasalahan kelapa sawit adalah sebuah keniscayaan. Kehadiran regulasi khusus yang mengatur kelapa sawit ini diharapkan menjadi solusi ketika pertumbuhan ekonomi tengah dicanangkan menjadi jaminan akselerasi produksi sawit dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan kontribusi ekonomi negara.*
* Anggota Badan Legislasi DPR RI/Anggota Komisi IV DPR RI