JAKARTA – Pungutan Ekspor (PE) produk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) untuk periode 16 Juli hingga 31 Juli 2023 naik 5,86% menjadi US$ 791,02 per metrik ton (MT) dibandingkan periode 1 Juli sampai 15 Juli 2023. Kenaikan ini dipicu oleh peningkatan harga referensi yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan.
Dalam keterangan tertulisnya pada 15 Juli 2023, Kementerian Perdagangan menetapkan harga referensi (HR) produk minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) untuk penetapan bea keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BLU BPDPKS) alias pungutan ekspor (PE) periode 16 Juli – 31 Juli 2023 adalah US$ 791,02 per metrik ton (MT).
Angka terbaru yang ditetapkan ini meningkat US$43,79 atau 5,86 persen, dari periode 1 Juli-15 Juli 2023, US$ 747,23 per MT.
Penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1157 Tahun 2023 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk periode 16 Juli – 31 Juli 2023.
“Saat ini harga referensi CPO mengalami peningkatan yang menjauhi ambang batas sebesar US$680 per MT. Untuk itu, merujuk pada peraturan menteri keuangan yang berlaku saat ini maka pemerintah mengenakan BK CPO sebesar US$33 per MT dan PE CPO sebesar US$85 per MT untuk periode 16 – 31 Juli 2023,” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Budi Santoso dalam keterangan tertulisnya.
Bea Keluar CPO periode 16 Juli – 31 Juli 2023 merujuk pada kolom angka 4 lampiran huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK?0.10/2022 jo. Nomor 123/PMK.010/2022 yang sebesar US$33 per MT.
Sedangkan Pungutan Ekspor CPO periode tersebut merujuk pada lampiran huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2022 jo. Nomor 154/PMK.05/2022 yang sebesar US$85 per MT. Nilai BK dan PE CPO tersebut meningkat dibandingkan periode 1 Juli-15 Juli 2023.
Budi, Santoso mengatakan peningkatan harga referensi CPO dipengaruhi beberapa faktor, antara lain indikasi penguatan ekspor dibandingkan dengan periode Mei terutama dari negara Malaysia, yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi di Malaysia. Faktor lainnya adalah peningkatan harga minyak kedelai. (NYT)