BANDUNG – Kontribusi sawit terhadap perekonomian nasional akan meningkat berkali-kali lipat melalui hilirisasi. Dengan penggunaan teknologi terbaru, replanting hingga diatur oleh satu badan, bisnis sawit pada 2028 bisa mencapai USD107,02 miliar atau sekitar Rp15.000 triliun.
Hal tersebut mengemuka dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit bertemakan “Perkembangan dan Kontribusi Industri Hilir Sawit Bagi Perekonomian Indonesia” di Bandung, Jawa Barat, Kamis (1/2/2024).
Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengungkapkan kesalahpahaman soal sawit yang diperuntukkan untuk minyak goreng. Padahal, ujar dia, yang saat ini sawit dijadikan minyak goreng otomatis kandungan vitaminnya akan hilang karena suhu panas.
Padahal, sawit mengandung kadar β-carotene serta tokoferol dan tocotrienol yang relatif tinggi. β-carotene merupakan sumber vitamin A dan antioksidan, sedangkan tokoferol dan tocotrienol yang merupakan salah satu golongan vitamin E yang berasal dari tumbuhan yang juga dapat berperan sebagai antioksidan.
“Sawit menghasilkan vitamin A yang 15 kali dari wortel dan vitamin E yang 20 kali dari minyak olive. Minyak zaitun hanya mengandung vitamin E sebesar 51 ppm, sementara kandungan vitamin E minyak sawit jauh lebih tinggi yakni 1.172 ppm. Padahal, harga olive oil jauh lebih mahal dibanding sawit,” jelas Sahat.
Sahat juga menambahkan, yang tidak banyak diketahui soal sawit bahwa komoditi ini merupakan satu satunya jenis vegetable oil yang mirip dengan kandungan air susu ibu. Dengan C18, octadecenoic acids yang mencapai 36,3%. “Barang begitu bagus kok dibuat minyak goreng. Gimana itu peneliti-peneliti kita PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit) itu,” ucapnya.
Sahat menyampaikan, hilirisasi sawit dengan teknologi yang ada saat ini nilai usahanya di 2023 sudah mencapai USD62,9 miliar. Angka tersebut berasal dari hasil ekspor sebesar USD38,4 miliar, domestik USD21,4 miliar dan biomassa USD3,1 miliar.
“Hilirisasi industri sawit dengan jumlah jenis produk sebanyak 54 jenis di tahun 2007 meningkat ke 179 jenis di 2023, dan kesempatan masih terbuka luas untuk dikembangkan agar meningkatkan revenue sawit kita,” ujar Sahat.
Meski cukup mengalami peningkatan, dia menyebut hilirisasi industri sawit Indonesia masih kalah dengan Malaysia. Sebab negara tetangga sudah mempunyai sekitar 260 produk turunan sawit. Padahal, Malayasia hanya mempunyai 5 juta hektare (ha) lahan, jauh di bawah Indonesia yang mencapai sekitar 16,8 juta ha.
“Mereka bisa menghasilkan tocotrienol dari sawit. Tocotrienol 1 kg USD800 loh. Kenapa banyak? Karena pengusaha aman di sana (di Malaysia). Engga tiba-tiba pengusaha didatangi kesatuan pemuda setempat, regulasi berubah-ubah. Di Indonesia besar potensinya, tapi pelaku usaha takut,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Sahat menekankan perlunya satu badan khusus agar laju industri sawit bisa berjalan optimal. Agar tumpang tindih regulasi yang menghambat industri di sektor sawit, bisa diselesaikan.
“Agar kondusif jangan kementerian-kementerian banyak cawe-cawe ke sawit. Kementerian lain hanya supporting. Ada satu badan jadinya,” ungkap Sahat.
Dia mengungkapkan jika inovasi proses pengolahan produk sawit diperbaharui, maka total bisnis sawit di 2028 bisa mencapai USD107,02 miliar atau pertumbuhan usaha di bidang industri sawit bisa tumbuh sebanyak 70,1%.
“Kuncinya adalah mereplanting 485.000 ha per tahun. Petani itu harus dibina, jangan dibinasakan. Maka perlu dibantu. Lalu manfaatkan biomass. Per satu ton sawit, bisa 8-9 ton biomass. Rapeseed 1 ton biomass. Kita punya banyak tapi tidak termanfaatkan,” kata Sahat. (SDR)