JAKARTA – GAPKI mendesak Uni Eropa menunda implementasi kebijakan Undang-Undang Anti Deforestasi (European Union Deforestation-free Regulation/EUDR) yang dijadwalkan semula pada Januari 2025 menjadi 2026. Permintaan penundaan ini menjadi bagian dari perjuangan yang dilakukan pemerintah Indonesia dan GAPKI dalam menghadapi kebijakan yang merugikan Indonesia.
“Kita mendukung perjuangan pemerintah untuk minta diundur menjadi tahun 2026,” kata Ketua Umum GAPKI Eddy Martono dalam Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 di Jakarta pada 27 Februari 2024. Alasannya, petani sawit di Indonesia belum siap dengan penerapan EUDR sehingga kalau dipaksakan akan mengancam kelangsungan usaha mereka.
Dalam kebijakan EUDR, Uni Eropa akan memberlakukan benchmarking negara eksportir berdasarkan tingkat risiko deforestasi, yakni ‘Tinggi Risiko’, ‘Risiko Menengah’ dan ‘Rendah Risiko’. Dengan standard ini, Indonesia dinilai sebagai negara dengan risiko deforestasi tinggi. Standard ini tentu saja merugikan komoditas ekspor Indonesia seperti sawit.
Upaya Indonesia dalam menghadapi kebijakan EUDR sudah dilakukan sejak 2023 ketika Uni Eropa mengesahkan regulasi ini pada Mei 2023. Indonesia dan Malaysia sudah membentuk tim bersama hingga gugus tugas untuk melobi Uni Eropa. GAPKI memberi dukungan penuh, terutama agar Indonesia tidak dikategorikan sebagai high risk country terkait EUDR. “Ini poin penting agar kita masuk ke kategori low risk country,” katanya.
Dalam syukuran ini, Eddy Martono juga menjelaskan kinerja ekspor CPO tahun 2023 di mana ekspor CPO dan PKO turun 2,38 persen menjadi 32,21 juta ton pada 2023, dibandingkan tahun 2022 sebesar 33,15 juta ton. “Ekspor biodiesel dan oleokimia mengalami kenaikan masing-masing sebesar 29 ribu ton dan 395 ribu ton,” katanya. (PEN)