JAKARTA – Hari Jumat (3/10/2025) lalu, Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustiar Sabran meninjau peternakan sapi milik PT Bina Jaya Abadi (BJA Farm) yang berlokasi di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalteng. BJA Farm merupakan Pusat Hilirisasi Inovasi Ekonomi Sirkular Nol Limbah dan Balai Diklat Agropreneur.
Saya selaku direktur utama yang sekaligus pemilik BJA Farm sangat bersyukur dan berterima kasih atas atensi tersebut. Banyak hal yang kami diskusikan, tentu terkait upaya sinergi membangun negeri kita ini. Mari kita ambil ilmu hikmahnya.
1). Iklim Usaha.
Sejujurnya, sungguh kami syukuri bisa investasi di Kalteng selama ini. Masyarakatnya sangat baik. Tokoh masyarakat dan pemerintah daerah (pemda) juga menyenangkan, sehingga saya terangsang untuk terus berkreasi, berinovasi dan selanjutnya melakukan ekspansi bisnis.
Baca Juga: Problematika Sawit Kita
Namun demikian saya punya harapan agar jalan yang hanya sepanjang 1,8 kilometer (km) kiranya diaspal. Sebab selama ini banyak tamu di antaranya pakar peternakan berkunjung ke BJA Farm. Harapan ini saya kira tak berlebihan mengingat selama ini saya sudah membayar pajak miliaran rupiah.
Berkembangnya dunia usaha sangat dipengaruhi oleh iklim usaha. Untuk itu preman berbaju dinas abdi negara agar dikontrol. Misalnya pungutan liar (pungli) di ATR/BPN/Agraria. Ini parah sekali. Menghambat proses cipta lapangan kerja.
2). Program Swasembada Sapi
Selama ini pemerintah mengalokasikan anggaran baik dari APBN maupun APBD triliunan rupiah untuk program swasembada sapi. Misalnya saja untuk program seribu desa, seribu sapi. Hasilnya nol besar.
Kondisi ini diperparah dengan pembiaran pemotongan massal sapi betina produktif. Karena itu, praktik itu harus distop karena melanggar Undang-Undang No 41 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Baca Juga: DAYA UNGKIT INOVASI
Harapan kami, untuk mencapai swasembada sapi ini bisa melalui Koperasi Merah Putih atau BUMDes. Lembaga tersebut bisa memberdayakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) di bank yang bunganya hanya 6% per tahun. Skema pembiayaan ini tanpa memerlukan jaminan lain selain sapi. Program ini pun tidak membebani APBN/APBD.
Selama ini saya sudah menjalankan model usaha ini lebih dari 1.300 ekor indukan bunting. Saya siap jadi penyalur jutaan ekor sapi bunting. Saat ini telah berkembang biak di masyarakat luas, utamanya di sentra sawit yang diintegrasikan dengan sapi.
Ini akan makin produktif jika tiap dekat pabrik sawit ada kandang sapi. Bungkil dan solid limbah sawit jadi pakan. Feses urine sapi bisa jadi pupuk. Ekonomi Sirkular Nol Limbah.
3). Stop Ekspor Bungkil Sawit
Selama ini laba perusahaan sawit sudah sangat besar karena harga pokok produksi (HPP) CPO cuma Rp4.000 per kg, dijual Rp15.000 per kg. Belum lagi dari PKO dan cangkang. Sungguh ironis jika bungkil sawit juga masih diekspor, padahal cuma limbah saja.
Pada sisi lain kita kekurangan protein hewani. Indikatornya prevalensi stunting masih tinggi 20,6%. Idealnya negara maju angka stunting maksimal 2% saja. Padahal bungkil sawit merupakan bahan baku utama pakan sapi dan ayam berprotein kasar kadar tinggi. Saat ini bungkil sawit Indonesia ada sekitar 8 juta ton per tahun. Namun bungkil sawit tersebut malah diekspor.
Hal paling menarik lagi. Sejak beberapa tahun ini kita sudah mulai menjalankan program “hilirisasi”, tapi tanpa massal pada hasil pertanian. Misal masih jutaan ton ekspor bahan mentah pabrik pakan ternak yaitu bungkil sawit. Aneh tapi nyata. Menggelikan.
Hilirisasi kalau cuma wacana, tanpa tindakan nyata, akan sia-sia tanpa perubahan PDB per kapita. Implikasinya lowongan kerja tanpa tercipta. Pajak dan pendapatan asli daerah (PAD) maupun pertumbuhan ekonomi tanpa terbentuk. Hasil riset hanya di lemari. Terjebak jalan di tempat yaitu wacana belaka.
Oleh: Wayan Supadno (Praktisi Pertanian, Perkebunan dan Peternakan)