JAKARTA – Banyak negara sukses jadi negara maju dengan indikasi utama pendapatan per kapitanya hingga 20 kali lipatnya Indonesia. Cara paling lazim adalah investasi pada riset dan inovasi hingga indeks inovasi globalnya masuk peringkat ke 15. Artinya para penelitinya sangat produktif daftar hak patennya. Ironisnya, Indonesia baru berada di peringkat ke 54. Para peneliti harus makin produktif.
Kondisi itu, iptek dan inovasi masuk dan jadi urat nadi kehidupan masyarakatnya. Berimplikasi pada kemampuan masyarakat mengatasi masalahnya dengan inovasi, mengurai bahan baku jadi beragam produk jadi bernilai tinggi. Indikasinya pada indeks kompleksitas ekonomi peringkat 20 besar, Indonesia baru peringkat ke 97.
Inovasi jadi daya ungkit kehidupan masyarakat. Pada keterampilan hidup dengan daya nalar analisis inovatif. Maupun skala industri, sehingga mampu dengan mudahnya mendongkrak pendapatan per kapita negaranya. Karena nilai tambah labanya sangat besar, karena barang murah berlimpah diubah jadi produk langka mahal diminati pasar global.
Baca Juga: STOP EKSPOR CPO!
Agar jadi bahan pembelajaran kawula muda, bersumber dari ilmu hikmah pada tiap kejadian nuansa inovatif yang jadi “daya ungkit” pendapatan per kapita masyarakat luas. Contoh-contoh nyata lapangan ini sangat penting, inspirasi agar jadi proses edukasi publik. Tinggal kita mampu atau tidak menjabarkan apa yang diajarkan.
1). Lahan terlantar.
Seberapa luas dan seberapa baiknya mutu lahan. Jika hanya ditelantarkan maka hanya jadi sumber pengeluaran belaka. Misal untuk pajak PBB, perawatan gulma dan lainnya. Karena kreatif inovatif diremediasi dengan pupuk kandang 20 ton/ha, yang berlimpah murah diperkaya biang mikroba, Bio Extrim dan Hormax, ditanam Gama Umami rumput inovasi dari UGM Yogyakarta.
Implikasinya, lahan terlantar sumber beban tersebut jadi kontan produktif. Bisa minimal laba Rp300 juta/hektare/tahun. Karena bisa menghasilkan Gama Umami 700 ton/ha/tahun dijual harga Rp700/kg, ke perusahaan peternakan sapi skala ribuan ekor. Dipanen tiap 45 hari sekali hingga 3 tahun baru diremajakan total. Konkret inovasi jadi daya ungkit.
Baca Juga: Meneropong Prospek Sawit di Era Pemerintahan Prabowo-Gibran
Masih juga berimplikasi kemanfaatan bagi orang lain dan kehidupan. Masyarakat sekitar yang biasanya menganggur tanpa pendapatan, berubah jadi sibuk sehat produktif karena dikaryakan sehingga dapat upah. Lalu upah tersebut untuk belanja pangan, papan, sandang dan lainnya. Otomatis menjadi rejeki ruas berikutnya yaitu toko, warung, petani, pabrik dan lainnya.
2). Kelapa dan sawit.
Banyak negara tanpa punya pohon kelapa sebatangpun, apalagi kebun kelapa dan sawit. Karena agroklimatnya tidak memungkinkan dibangun kebun sawit dan kelapa. Tapi kita sangat bersyukur karena sawit kita terluas di dunia 16,38 juta hektare dan kelapa terluas di dunia 3,1 juta hektare (BPS). Tapi sayangnya banyak negara jadi maju karena sawit dan kelapa kita.
Konkretnya, mereka negara maju inovasinya karena penelitinya sebelum meneliti selalu membuat kajian terlebih dulu pada hasil intelijen bahan bakunya sebagai bagian dari PPIC (Production, Planning and Inventory Control). Penting sebagai manajemen industri kontrol bahan baku, kapasitas produksi dan kekuatan serapan pasarnya.
Yang terjadi berkat riset dan inovasi. Beli sebutir kelapa glondongan dari Indonesia anggap hanya Rp5.000/butir. Diurai jadi beragam produk jadi nuansa inovasi dengan merek dagang totalnya bisa Rp50.000/butir hanya karena ditambah modal kerja penyerta Rp5.000/butir. Labanya Rp40.000/butir. Nilai tambahnya sangat besar karena miliaran butir/tahun selama puluhan tahun.
Baca Juga: Implikasi Industri Agro
Oleh mereka kelapa yang murah dibeli dari Indonesia diproses ala industri inovatif jadi bahan jadi beragam langka tapi diminat jadi rebutan lalu mahal. Kelapa diurai jadi jok mobil, cocopeat jadi pembalut wanita karena karakternya sabut kelapa mampu menyimpan air minimal 6 kali lipatnya, air kelapa jadi nata de coco, tempurung jadi karbon aktif, dagingnya VCO, sisi lain masih ada pakan ternak dan lainnya.
CPO (minyak mentah sawit) oleh mereka dibeli ke Indonesia hanya harga Rp15.000an/kg. Itupun kita senang sekali bisa ekspor jutaan ton/tahun selama puluhan tahun lamanya. Tapi bagi mereka negara maju itu sangat murah. Karena harga CPO Rp15.000/kg, hanya ditambah modal kerja penyerta diproses di industri inovatif Rp5.000/kg bisa berubah jadi minimal Rp150.000/kg. Labanya Rp130.000/kg.
Tapi setelah jadi produk turunan yang bernilai ekonomi tinggi. Misal saja jadi minyak goreng bermerek dagang populer harga di luar negeri Rp30.000/kg, margarin, sabun, campuran pangan kakao, pembungkus kapsul obat farmasi, bahan bakar nabati yang ramah lingkungan terbarukan dan lainnya. Karena produk turunan dari sawit minimal ada 200 item.
Ilmu hikmahnya, jika Indonesia mau cepat maju, maka hal mutlak harus memanfaatkan waktu agar produktif. Bukan olok-olokan nuansa parpol pilihan, SARA dan lainnya. Itu kuno dan kampungan.
Harus membangun persatuan dan kesatuan. Membangun SDM agar bermutu. Diberi pangan bergizi, dididik agar jadi peneliti inovator hebat membumi, jadi entrepreneur adaptif inovasi cipta lapangan kerja jumlah banyak dan lainnya. (Wayan Supadno-Praktisi Pertanian)