JAKARTA – Musim kemarau panjang selalu menjadi ancaman tersendiri bagi perkebunan kelapa sawit karena tanaman ini memiliki tipe perakaran dangkal sehingga umumnya tidak toleran pada cekaman kekeringan. Akibatnya membatasi pertumbuhan terganggu sehingga produksi bisa tidak maksimal. Dampak kekeringan pada pertumbuhan sawit mulai terjadi apabila defisit air mencapai 200 mm. Sawit yang terdampak dicirikan dengan munculnya daun tombak dan patah pelepah yang mengganggu produksi buah sawit.
Beberapa inovasi sudah dilakukan untuk menciptakan bibit yang lebih tahan atau toleran terhadap kekeringan tanpa mengganggu pertumbuhan dan produksi.Selama ini, perakitan tanaman sawit toleran kekeringan menggunakan metode konvensional banyak dilakukan. Namun, teknik ini membutuhkan waktu perakitan varietas yang lama. Untuk mencari solusi, tim peneliti PT Riset Perkebunan Nusantara mengembangkan bibit toleran kekeringan.
Baca Juga: Membangun Korporasi Petani Berbasis Manajemen Digital
Riset pengembangan bibit sawit ini didanani oleh BPDPKS dan didokumentasikan dalam Grant Riset Sawit 2024 dengan judul Aplikasi Teknik Pemuliaan Maju dan Pengembangan Medium Kultur Jaringan Berbasis Silika (SI) untuk Percepatan Perolehan Bibit Kelapa Sawit Unggul Toleran Kekeringan. Riset dilakukan oleh Galuh W. Permatasari, Riza A. Putranto, Hayati Minarsih, Imron Riyadi, dan Ernayunita dari PT Riset Perkebunan Nusantara
Pengembangan perakitan tanaman sawit ini menggunakan pendekatan genome editing, salah satunya menggunakan tools CRISPR/Cas9. Tujuannya merakit tanaman sawit yang memiliki karakter toleran kekeringan dengan melakukan insersi gen krusial penentu toleran kekeringan pada planlet sawit menggunakan metode agroinfiltrasi.
Pada tahun peneliti mendapatkan PPKS 718 Var Yangambi sebagai bahan tanaman yang akan diedit dengan CRISPR/Cas9 untuk mentarget gen OST2 melalui optimasi agroinfiltrasi. Teknik agroinfiltrasi dipilih untuk teknik transformasi karena mudah, namun ekspresinya hanya sementara. Karena itu penggunaan sumber eksplan sawit dengan umur yang lebih muda lebih disarankan untuk mengintegrasikan plasmid pada genome dalam sel yang masih mampu berproliferasi dengan cepat. Perlakuan agroinfiltrasinya variasi waktu 1 menit, 5 menit, dan 10 menit, serta tekanan 100 mbar dan 200 mbar.
Baca Juga: Revegetasi Lahan Terdegradasi dengan Mulsa dari Tankos Sawit
Sedangkan validasi molekular bertujuan mengecek integrasi dan penyuntingan gen target. Hasilnya integrasi berhasil dilakukan ditandai dengan munculnya pita Cas9 dan NPTII di hari ke-7 dan 30. Tapi, setelah dilakukan analisis sekuensing, tidak dijumpai adanya editing pada daerah OST2. Hal ini karena adanya chimera, disfungsi sgRNA, mekanisme repair tanaman sawit yang cepat, ekspresi transient atau sementara. Untuk mengeliminasi kemungkinan repair dengan cepat digunakan kecambah sawit dan benih pre-heated.
Tapi, teknik agroinfiltrasi secara in vitro belum optimal karena terlalu rawan terkontaminasi. Optimasi teknik agroinfiltrasi yang optimum yakni pada perlakuan agroinfiltrasi selama 5 menit, 100 mbar. Hal ini dibuktikan dari analisis histologi dari bibit sawit pada usia 1 hari setelah diperlakukan dengan agroinfiltrasi yang menunjukkan peningkatan ketebalan diameter batang dan akar, berkas pengangkut dan tulang tengah (midrib) daun
Di tahun kedua, tanaman yang terkonfirmasi positif Cas9 dan NPTII diberi silika (Biosilac) dengan dosis 0, 25 mL, dan 75 mL lalu diberi perlakuan cekaman kekeringan 0%, 50% dan 100% sesuai kapasitas lapang. Data menunjukkan pemberian silika 75 mL meningkatkan konduktansi stomata, asimilasi dan kandungan klorofil pada tanaman transforman walaupun dicekam kekeringan 100% atau tanpa disiram selama 30 hari. (NYT)