SAMPIT – Perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) sedang tidak baik-baik saja. Kondisi ini menyebabkan produksi kelapa sawit di provinsi ini dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan.
“Kalau 2023 ke 2024 kemarin penurunannya 12%, sedangkan untuk 2024-2025 kami belum tahu. Kita lihat saja nanti di akhir tahun,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Cabang Kalteng Syaiful Panigoro di Kabupaten Sampit, Kalteng, Selasa (29/4/2025).
Dia mengatakan penurunan produksi ini dipengaruhi oleh masalah teknis maupun non teknis. “Saat ini produksi sawit kita menurun, memang kita terbantu oleh harga yang tinggi jadi dari sisi penghasilan kelihatan naik, tetapi sebenarnya tidak,” kata Syaiful.
Baca Juga: Gubernur Jamin Keamanan Investasi Sawit di Kalteng, asal Pengusaha Baik
Maka dari itu, kata Syaiful, perlu awareness atau kesadaran dari pihak-pihak terkait untuk mengatasi penurunan produksi agar tidak menjadi masalah berkepanjangan.
Sejumlah permasalahan teknis yang dihadapi berdampak pada penurunan produktivitas sawit di wilayah Kalteng. Di antaranya, serangan genoderma pada kelapa sawit yang rawan terjadi ketika masa replanting atau peremajaan tanaman.
Serangan genoderma atau yang dikenal sebagai busuk pangkal batang (BPB) adalah penyakit serius yang dapat menyebabkan kerusakan pada akar dan batang, bahkan kematian tanaman.
“Sementara di Kalteng ada beberapa wilayah yang sudah masuk tahap replanting, sehingga kita perlu mencegah agar jangan sampai perkebunan ini mati. Apalagi sekarang tulang punggung devisa kita adalah perkebunan kelapa sawit,” ujarnya.
Baca Juga: Aparat Diminta Tegas Tangani Pencurian TBS Sawit di Kalteng
Selain itu, masalah dalam penyerbukan juga kerap dihadapi perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalteng. Penyerbukan yang tidak optimal dapat menyebabkan penurunan produksi dan kualitas buah.
Untuk mengatasi masalah ini, pihaknya telah melakukan impor kumbang Elaeidobius Kamerunicus Faust dari Afrika, guna membantu penyerbukan kelapa sawit dengan harapan bisa meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit.
Kumbang jenis ini dipilih karena dinilai sangat efisien dalam proses penyerbukan, sebab bentuk, struktur, dan ukurannya yang sesuai dengan bunga kelapa sawit.
“Di samping itu, beberapa antar kebun juga saling membeli bunga jantan dengan harapan agar kumbang itu bisa ikut, tapi cara seperti ini hanya bersifat sementara kalau stoknya berkurang maka tentu akan mempengaruhi produksi juga,” lanjutnya.
Baca Juga: Pemprov Kalteng Bentuk Satgas Penanganan Konflik Sosial
Syaiful meneruskan, masalah non teknis juga dihadapi para pengusaha perkebunan kelapa sawit. Masalah non teknis ini berkaitan dengan regulasi dari pemerintah yang sering berubah-ubah.
Diketahui, sejak Februari lalu pemerintah pusat melakukan penyitaan terhadap lahan yang dinilai melanggar kawasan hutan, dan tidak sedikit lahan yang ditertibkan itu meliputi perkebunan kelapa sawit.
Menurutnya, dari kacamata pemerintah saat ini masih banyak lahan perkebunan kelapa sawit yang masuk kawasan hutan. Padahal perusahaan sudah mengikuti aturan dan mengurus perizinan, hanya saja sebelum izin keluar kemudian muncul aturan baru.
“Hari ini kita dalam posisi harus menghadapi. Kita tidak ada jalan lain, kecuali berharap kebijakan pemerintah ke depan untuk sawit ini bisa tertata dengan baik,” ucapnya.
Ia menambahkan, penurunan produksi sawit ini diperkirakan akan berlangsung dalam jangka panjang. Terlebih ketika masa transisi penyitaan, sehingga tidak ada kegiatan di lahan yang disita dan otomatis terjadi penurunan produksi secara signifikan. (ANG)