NUSA DUA – Pelaku usaha menyambut baik upaya pemerintah dalam mengembangkan energi berbasis kelapa sawit. General Manager Green Energy Apical Group, Aika Yuri Winata menyatakan pentingnya peran perusahaan dalam memperkenalkan pengembangan minyak nabati kepada dunia.
Selain itu Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau bahan bakar penerbangan berkelanjutan bukan hanya masa depan energi terbarukan di masa yang akan datang, namun juga mempertegas kelapa sawit sebagai minyak nabati paling berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di masa yang akan datang.
Sektor penerbangan global adalah kontributor penting terhadap emisi CO2, mencakup 3% dari emisi pada tahun 2019. Ini juga menjadi salah satu sektor yang paling sulit untuk didekarbonisasi, dengan komitmen untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050.
“SAF muncul sebagai alternatif yang paling menjanjikan dan layak untuk bahan bakar pesawat konvensional, mampu mengurangi emisi CO2 hingga 90%,” kata Aika dalam salah satu sesi Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023 di Nusa Dua, Bali, Kamis (2/10/23).
Lebih lanjut, Aika menjelaskan untuk mempercepat adopsi SAF dan melakukan dekarbonisasi perjalanan udara, penting untuk memanfaatkan kekuatan wilayah ASEAN. Negara-negara ASEAN secara kolektif menawarkan lebih dari 16 juta metrik ton minyak limbah dan sisa setiap tahun, dengan bahan baku potensial seperti minyak jelantah, limbah pabrik kelapa sawit, minyak tandan buah kosong, dan distilasi asam lemak kelapa sawit.
“Saat ini ada tiga hal yang masih menjadi tantangan bagi implementasi SAF di Indonesia dan juga di dunia. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dituntut untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, biaya produksi bioavtur yang masih tinggi dibandingkan dengan fosil serta kebijakan pemerintah yang saling terintegrasi dalam mendukung kebijakan bioenergi khususnya bioavtur sangat diperlukan,” jelas Aika.
Terkait ketersediaan pasokan dari kelapa sawit Indonesia di masa yang akan datang, meskipun Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia namun masih menghadapi masalah produktivitas yang jauh dari ideal. Saat ini rata-rata produksi CPO Indonesia hanya 3-4 ton/ha per tahun.
“Untuk memenuhi kebutuhan global maka pentingnya program PSR tidak boleh diabaikan. Tanpa program ini, produktivitas perkebunan kelapa sawit diproyeksikan akan menurun secara serius. Pada tahun 2025, diperkirakan produksi CPO (Crude Palm Oil) hanya akan mencapai sekitar 44 juta metrik ton. Ini menekankan peran penting program ini dalam menjaga keberlanjutan industri tersebut,” kata Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman. (SDR)