JAKARTA – Indonesia dan Malaysia melalui organisasi Dewan Kerja Sama Negara-Negara Penghasil Minyak Sawit atau Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) sepakat untuk terus melawan kampanye hitam negara-negara Eropa terhadap komoditas sawit.
Eropa menentang produk sawit melalui rancangan penerbitan Undang-Undang Antideforestasi Uni Eropa atau EUDR. Namun, aturan itu kini ditunda penerbitannya karena memberi ruang penyesuaian kepada perusahaan produsen sawit untuk melakukan penyesuaian standarisasinya.
Meski telah ditunda, pemerintah Indonesia dan Malaysia berkomitmen untuk terus melawan kampanye hitam itu melalui perpanjangan pembentukan Gugus Tugas Ad Hoc (Ad Hoc Joint Task Force) EUDR sesuai keputusan Parlemen Eropa memperpanjang penundaan implementasi EUDR satu tahun ke depan.
Baca Juga: Tak Hanya Indonesia, Eropa Ternyata juga Kesulitan Menerapkan EUDR
“Indonesia dan Malaysia sepakat untuk melanjutkan ad hoc dari joint task force tentang EUDR, di mana EUDR, Parlemen Eropa telah memperpanjang satu tahun,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Airlangga seusai menghadiri 12th Ministerial Meeting of Council of Palm Oil Producing Countries, Jumat (29/11/2024)
Sebagaimana diketahui, Komisi Uni Eropa telah memunculkan perpanjangan waktu pelaksanaan EUDR untuk perusahaan besar hingga 30 Desember 2025 dan untuk perusahaan mikro serta kecil hingga 30 Juni 2026.
Sementara itu, Ad Hoc Joint Task Force on EUDR sendiri menjadi platform yang berfungsi sebagai mekanisme konsultatif untuk mendukung koordinasi dan mendorong pemahaman bersama antara Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa terkait dengan EUDR.
Baca Juga: Hadapi EUDR, BPDPKS dan Stakeholder Maksimalkan Diplomasi Serta Kampanye Positif
Airlangga mengatakan, yang menjadi masalah EUDR hingga saat ini ialah Uni Eropa sendiri kebingungan dalam menetapkan instrumen standarisasi keberlanjutan produk sawit. Baik ISPO, MSPO, hingga RSPO tidak mereka akui hingga kini. Maka, melalui joint task force ini CPOPC akan mendesak EU untuk mengakui satu standar keberlanjutan sawit supaya bisa diterima dunia. “Saat ini, EUDR tidak mengakui RSPO. Jadi setidaknya mereka harus mengakui satu standar,” kata Airlangga.
Selain itu, Uni Eropa juga secara terang-terangan meminta data lokasi produsen sawit ke Indonesia dan Malaysia. Namun, bagi kedua negara, data itu menjadi privasi yang tidak bisa dibagikan. Adapun niat EU untuk mendapat akses lokasi produsen sawit untuk mengetahui lahan deforestasi dan degradasi hutan karena penanaman perkebunan sawit.
“Kami tidak akan memberikan data lokasi itu atau share loc. Tapi kalau mereka mau mendapatkan akses datanya bisa saja mereka mengaksesnya melalui platform yang telah disediakan para perusahaan,” ucapnya.
Baca Juga: Indonesia Siapkan Sistem Pertahanan Sawit Hadapi EUDR
Menteri Perladangan dan Komoditi Malaysia Johari Abdul Ghani menegaskan komitmen Malaysia untuk bersama-sama dengan Indonesia mengkampanyekan sawit berkelanjutan melalui joint task force guna mematuhi standar keberlanjutan sawit yang ditetapkan dalam EUDR.
“Dan sebagian besar pemain besar kami sudah siap untuk mematuhi EUDR, terutama perusahaan besar. Dan saya yakin perusahaan Indonesia juga memiliki pemain besar yang berkomitmen. Saya rasa tidak ada masalah dalam mematuhi EUDR,” ucap Johari.
Ia pun menegaskan, sebetulnya produk sawit baik yang dihasilkan Indonesia maupun Malaysia malah sama-sama menahan perubahan iklim, melalui keberadaan bahan bakar ramah lingkungan biodisel.
“Jadi, apa yang kita butuhkan, selama itu menguntungkan lingkungan. Itu menguntungkan agenda keberlanjutan, kita akan patuhi. Tetapi apapun yang lebih dari itu, saya pikir kita harus sangat berhati-hati karena kita juga diatur oleh hukum masing-masing negara,” kata Johari. (ANG)