BOGOR – Indonesia berada di posisi lima besar produsen kakao dunia. Namun, kita menghadapi stagnasi produktivitas, serta ancaman serius seperti serangan Vascular-Streak Dieback dan Phytophthora palmivora.
“Di sinilah, riset dan varietas unggul menjadi penentu masa depan,” kata Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (ORPP) BRIN, Puji Lestari, dalam Webinar EstCrops_Corner #16, (Selasa (8/7/2025).
Dia mengungkapkan bahwa varietas unggul bukan hanya soal genetik yang lebih baik, tetapi efisiensi produksi, daya tahan terhadap lingkungan ekstrem, serta adaptabilitas tinggi. “Kita butuh varietas yang mampu menjawab dinamika perubahan iklim dan kebutuhan industri hilir,” tambahnya.
Baca Juga: BPDP Belum Kelola Dana Perkebunan Kakao
Kepala Pusat Riset Tanaman Perkebunan (PRTP) BRIN, Setiari Marwanto, menyebut bahwa inovasi varietas unggul adalah jalan utama mengangkat kembali kejayaan industri kakao Indonesia. “Produksi kita terus menurun akibat penurunan lahan budi daya dan tingginya cekaman lingkungan. Solusinya adalah pelepasan varietas unggul secara genetis, adaptif, dan bisa didistribusikan secara luas ke petani,” ujarnya.
Saat ini, terdapat beberapa varietas kakao unggul yang mulai digunakan, seperti BB1 yang dilepas pada 2023, RHS1 dan RHS2 pada 2024, serta ISC1 dan GTB04C40R47 pada 2025. Semua varietas ini dirancang melalui proses ilmiah ketat, diuji di berbagai lokasi, dan diseleksi secara cermat agar bisa tumbuh baik di berbagai kondisi lingkungan.
Contohnya, varietas BB1, memiliki potensi produksi biji kering mencapai 3,5 kilogram per pohon per tahun dan indeks buah yang tinggi. Sementara itu, RHS1 dan RHS2 dikembangkan sebagai bahan batang bawah kakao lindak dan dirancang khusus untuk mendukung sistem perbanyakan klonal melalui metode sambung dan okulasi.
Baca Juga: BPDP Susun Roadmap Riset Industri Kelapa dan Kakao
Dua varietas terbaru—ISC1 dan GTB04C40R47—memiliki keunggulan kadar lemak tinggi dan performa hasil lebih baik dibanding klon pembanding, menjadikannya pilihan ideal bagi industri hilir dan ekspor.
Peneliti PRTP BRIN, Rubiyo, menekankan bahwa pengembangan varietas ini sangat mempertimbangkan struktur pengelolaan kakao nasional. “Saat ini, sekitar 93 persen kakao di Indonesia dikelola oleh petani rakyat. Maka, varietas unggul yang kami kembangkan harus benar-benar relevan dengan kondisi di lapangan dan mudah diakses petani,” jelasnya.
Rubiyo juga menyampaikan bahwa Indonesia saat ini memiliki stok material genetik yang cukup untuk mengembangkan varietas baru ke depan. “Kita sudah masuk ke fase riset inovasi. Target kami adalah menghasilkan varietas yang dapat memberikan hasil 1,5–2,5 ton biji kering per hektare per tahun secara konsisten,” tambahnya.
Selain pengembangan varietas, dirinya menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas sektor. Keberhasilan riset inovasi tidak boleh berhenti di laboratorium. “Kita harus mendorong adopsi cepat dan luas di tingkat petani. Ini butuh regulasi yang mendukung, sistem perbenihan yang tangguh, serta komunikasi yang intensif antar-stakeholder,” pungkasnya.
Sejumlah rekomendasi strategis telah dihasilkan, antara lain percepatan pelepasan dan sertifikasi varietas, penguatan jaringan diseminasi benih, serta sinergi antara peneliti, pelaku industri, pembuat kebijakan, dan petani. Dengan langkah terstruktur dan berbasis data, industri kakao nasional diharapkan mampu tumbuh berkelanjutan, tangguh terhadap iklim, dan tetap kompetitif di pasar global. (SDR)