JAKARTA – Peran negara sangat penting dalam mendukung pengelolaan kebun kelapa sawit rakyat yang berkelanjutan. Ini mengingat masih banyak kebun sawit rakyat yang belum memiliki sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Hal itu diungkapkan Anggota Dewan Pakar Tim Nasional Pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) Achmad Nur Hidayat dalam sesi diskusi ‘Urun Rembuk Bersama Stakeholder Sawit Nasional’ di Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2024).
Menurut Achmad Nur Hidayat, kepemilikan perkebunan kelapa sawit rakyat sekitar 41% atau terluas kedua setelah kebun milik perusahaan swasta dari total luas lahan kelapa sawit di Indonesia.
Kendati demikian dari total luas tersebut, yang telah memiliki sertifikasi ISPO hanya 0,31%. ISPO sendiri merupakan standar mutu pengelolaan bisnis kelapa sawit secara berkelanjutan di Indonesia.
“Sawit rakyat kita sekitar 41% dibandingkan yang private (swasta). Tetapi yang banyak ini tidak diikuti dengan sertifikasi ISPO, angkanya sangat rendah sekali. Dari total luas kebun sawit rakyat tersebut yang sudah ISPO itu hanya 0,31%,” kata Achmad
Achmad menilai, salah satu persoalan yang dihadapi petani dalam mendapatkan ISPO adalah kurangnya bantuan atau advokasi yang diberikan negara. Lantaran tak memiliki sertifikat ISPO, pada akhirnya tandan buah segar (TBS) ditolak oleh pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS).
“Akhirnya apa? Merelakan sawit atau TBS mereka itu dijual kepada pihak ketiga yang punya sertifikasi dan akhirnya mereka mendapatkan harga yang lebih rendah. Inilah sumber ketimpangan petani sawit kita itu,” ujarnya.
Oleh karena itu, Achmad meminta partisipasi lebih aktif dari negara untuk membantu petani dalam mendapatkan sertifikasi ISPO untuk mengatasi persoalan tersebut. “Kami ingin negara mengintervensi ISPO ini supaya masyarakat terutama pekebun rakyat bisa terstandarisasi dengan ISPO,” imbuhnya.
Persoalan berikutnya yang disorot Achmad adalah sulitnya petani kelapa sawit untuk membangun pabrik kelapa sawit (PKS). Dalam kesempatan itu, Achmad mengatakan AMIN berjanji akan mengatur kembali regulasi mengenai hal tersebut guna memudahkan gabungan kelompok tani atau koperasi petani bisa mendirikan PKS.
“TBS ini kan keras sekali, tidak bisa diolah dengan manual, mereka membutuhkan mesin dan negara kemudian berintervensi agar mereka bisa memproduksi dari mesinnya sendiri,” tutur Achmad.
Menurutnya, melalui partisipasi aktif negara dalam membantu dalam mendapatkan sertifikasi ISPO, maka akan memberikan dampak positif kepada kesejahteraan petani kelapa sawit. “Saya kira kalau kita bisa memasifkan, petani bisa punya nilai tambah dan juga dibantu oleh negara sertifikasinya. Ini akan secara konkret menyejahterakan para petani Indonesia,” ucapnya. (ANG)