JAKARTA – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mengatakan masih banyak negara yang membutuhkan minyak kelapa sawit dari Indonesia. Salah satu negara itu adalah Pakistan.
Keyakinan itu didasari banyak hal, antara lain tingkat konsumsi minyak nabati Pakistan yang cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi Pakistan ketika impor minyak kelapa sawit dari Indonesia dihentikan pada 2022 akibat kelangkaan minyak goreng di dalam negeri.
“Kala itu, Presiden Jokowi memberlakukan pelarangan ekspor minyak sawit mentah sebagai dampak kelangkaan migor di dalam negeri. Tujuannya agar seluruh pihak berbenah dan fokus menanggulangi kondisi tersebut,” kata Eddy Martono di Jakarta pada 19 Januari 2024.
Situasi di Indonesia saat itu sangat mengkhawatirkan karena minyak goreng diserbu di pasar-pasar akibat kelangkaan. Di sisi lain, tangki penyimpanan minyak sawit mentah penuh karena ada larangan ekspor. Akibatnya, harga sawit anjlok, tak terserap dan banyak yang membusuk.
Kondisi serupa terjadi di Pakistan. Negara dengan penduduk 235 juta jiwa itu panik luar biasa karena cadangan minyak sawit untuk kebutuhan pangan utama hanya cukup kurang dari seminggu.
“Jika habis, Pakistan akan mengalami krisis pangan yang memicu lonjakan harga bahan pangan. Jika tak segera diatasi bakal menjelma menjadi krisis sosial dan ekonomi,” katanya. Kisah pilu kondisi Pakistan ini diterima Eddy Martono dari Abdul Raseed Jan Muhammad, tokoh sekaligus pebisnis kondang di Pakistan.
“Pontang-panting memohon visa untuk berkunjung ke Indonesia. Dia ingin menemui pejabat di Indonesia untuk melakukan lobi khusus. Agar Pakistan bisa beli minyak sawit Indonesia pada 2022,” kata Eddy.
Perjuangan itu tidak sia-sia. Upaya CEO Westbury Grup itu berhasil. Ada ekspor 2,5 juta metrik ton CPO Indonesia ke Pakistan dalam dua pekan. Padahal kebutuhan minyak nabati Pakistan mencapai 4,5 juta ton tiap tahun.
“Pakistan pasar yang potensial dan saya yakin terus berkembang. Untuk itu harus diperhatikan dan dikembangkan dalam berbagai perjanjian perdagangan yang saling memberikan manfaat bagi kedua negara,” kata Eddy Martono. (PEN)