NUSA DUA – Sebanyak tiga juga petani sawit di seluruh dunia paling terancam dengan penerapan kebijakan European Union Deforestasion-Free Regulation (EUDR) yang diberlakukan oleh UE (Uni Eropa) di tanggal 16 Mei 2023 lalu. Pasalnya, ada kesenjangan antara regulasi EUDR dan kondisi di lapangan yang dihadapi petani sawit sehari-hari.
Hal ini diungkapkan oleh Rizal Afandi Lukman selaku Sekretaris Jendral CPOPC (Council of Palm oil Producing Countries) di IPOC (Indonesian Palm Oil Conference) 2023 di Nusa Dua, Bali, Jumat (2/11/2023).
Menurut Rizal, tantangan terberat bagi petani sawit Indonesia terletak pada ketelusuran atau traceability karena sebagian besar dari mereka bergantung pada pihak perantara dalam melakukan bisnis, sehingga melacak buah kelapa sawit hingga ke asalnya akan sulit dilakukan.
Tanpa kehadiran EUDR, dia menilai petani sawit Indonesia sudah mengalami tantangan dan masih membutuhkan bimbingan dalam memenuhi kriteria keberlanjutan industri sawit karena manajemen kelompok tani yang belum terorganisir, kurangnya akses pada alat pertanian yang berkualitas dan pendanaan. “Tidak hanya di Indonesia, namun kebijakan EUDR akan berdampak kepada lebih dari 3 juta petani sawit di seluruh dunia,” ujar Rizal.
Ditambahkannya, berdasarkan standard UE, Indonesia dinilai sebagai negara dengan penghasil komoditas yang memiliki resiko deforestasi tinggi, salah satunya melalui ekspor minyak kelapa sawit. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi deforestasi di berbagai negara, namun terjadi ketimpangan antara tuntutan UE dan regulasi di lapangan.
Pada kesempatan yang sama, Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Luxembourg dan Uni Eropa Andri Hadi mengatakan jika hal ini terus berlanjut, maka petani sawit dari berbagai belahan dunia akan hilang dari rantai pasok.
Padahal, petani sawit sendiri merupakan pilar yang penting dalam industri sawit di Indonesia oleh karena kontribusinya yang berkisar di angka 41% (2,6 juta petani sawit Indonesia).
“Melalui kebijakan ini UE memang akan diuntungkan dengan mendapatkan harga yang stabil dari berbagai komoditas yang masuk ke wilayahnya, namun di sisi lain negara produsen akan dirugikan dengan berbagai kebijakan yang dibebankan,” ujar Andri.
Di sisi lain, Agus Purnomo, Direktur PT SMART TBK mempertanyakan keputusan UE untuk tidak mempertimbangkan kebijakan negara setempat sebagai tolak ukur penilaian keberlanjutan suatu komoditas.
Terkait permasalahan antara kebijakan EUDR dan petani sawit, CPOC telah membentuk joint task force atau gugus tugas dengan UE dalam menjembatani regulasi EUDR dengan kondisi petani sawit dunia. Salah satu kegiatannya adalah melalui small holder workshop di Malaka, di mana para petani dapat menyuarakan pendapat mereka terkait EUDR.
“Benchmarking yang terdapat di dalam EUDR seharusnya memperhitungkan periode dari deforestasi itu sendiri. Jika deforestasi dihitung berdasarkan periode terbaru, maka Indonesia bukanlah negara dengan resiko deforestasi tinggi. Sebab Indonesia telah mengalami penurun sebanyak 74% dalam 4 tahun terakhir,” ujar Agus Purnomo.
Keberatan Indonesia terkait regulasi EUDR tidak dilandasi oleh penolakan terhadap konsep keberlanjutan, namun justru berhubungan terhadap ketimpangan antara regulasi EUDR dan kondisi di negara eksportir. Indonesia telah melawan deforestasi sejak lama dan dalam 4 tahun terakhir laju deforestasi Indonesia telah mengalami penurunan.
“Saya percaya tidak ada satu negara pun yang melakukan deforestasi secara sengaja. Oleh karena itu kita sejalan dengan negara lain dalam memerangi deforestasi,” ujar Dubes Andri Hadi. (SDR)