JAKARTA – Program peremajaan sawit rakyat (PSR) berkorelasi dengan kebijakan mandatori B40 yang mulai diberlakukan pemerintah pada 1 Januari 2025. Suksesnya Program PSR akan berdampak besar pada pencapaian kebijakan mandatori B40.
Apalagi pemerintah akan meningkatkan menjadi B50 pada 2025. Dengan demikian dipastikan penggunaan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk kebutuhan biodiesel akan meningkat pula.
Mandatori B40 adalah bauran atau pencampuran bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan campuran bahan bakar nabati biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40%.
Indonesia menerapkan mandatori biodiesel sejak 2014. Melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12/2015, kebijakan mandatori biodiesel dipercepat dari B10 tahun 2014, menjadi B15 (2015) dan B20 (2016), dan B30 pada 2020. Sejak 1 Februari 2023 Indonesia menerapkan B35. Sementara B40 resmi diberlakukan tahun ini.
Baca Juga: Tekan Emisi Global, Program B40 Dipuji Malaysia
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan langkah ini, sejalan dengan agenda Asta Cita Presiden RI Prabowo Subianto terkait ketahanan dan swasembada energi, serta target pemerintah mencapai net zero emission di 2060.
“Kalau ini berjalan baik, atas arahan Presiden Prabowo, kita akan mendorong implementasi B50 pada 2026 dan kalau ini kita lakukan, maka impor kita terhadap solar, Insya Allah dipastikan sudah tidak ada lagi di 2026,” imbuh Bahlil.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengungkapkan program mandatori BBN ini dapat mengurangi impor BBM, sehingga menghemat devisa. Penghematan devisa untuk B40 sebesar Rp147,5 triliun, sedangkan untuk B35 dapat menghemat Rp122,98 triliun. Dengan demikian terjadi penghematan devisa sekitar Rp25 triliun dengan tidak mengimpor BBM jenis minyak solar.
Selain memberikan manfaat secara ekonomi, program mandatori B40 telah memberikan manfaat signifikan di berbagai aspek sosial, lingkungan termasuk peningkatan nilai tambah CPO menjadi biodiesel sebesar Rp20,9 triliun, penyerapan tenaga kerja lebih dari 14.000 orang (off-farm) dan 1,95 juta orang (on-farm), serta pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 41,46 juta ton CO2e per tahun.
Baca Juga: Percepat PSR, BPDP Dorong Kemitraan antara Perusahaan dengan Pekebun
Pada 2025, pemerintah menetapkan alokasi B40 sebanyak 15,6 juta kiloliter (kl) biodiesel dengan rincian, 7,55 juta kl diperuntukkan bagi Public Service Obligation atau PSO. Sementara 8,07 juta kl dialokasikan untuk non-PSO.
Kementerian ESDM memproyeksikan kebutuhan CPO untuk biodiesel akan meningkat seiring penerapan B40 pada 2025. Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo mengatakan, pada 2024 kuota biodiesel sebesar 13,4 juta kilo liter (KL). Dengan jumlah tersebut, dibutuhkan CPO sekitar 12,18 juta ton atau sekitar 24% dari total produksi CPO yang diperkirakan mencapai 50 juta ton.
“B40 tahun 2025 dengan alokasi sekitar 15,62 juta kilo liter itu akan diperlukan CPO sekitar 14,2 juta ton, sekitar 28% dari produksi CPO yang perkiraan 50 juta ton,” ujar Edi dalam diskusi Hilirisasi Sawit, Sabtu (22/2/2025).
Produksi CPO Stagnan
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat kinerja industri sawit relatif stagnan dalam lima tahun terakhir. Tercatat produksi minyak sawit (CPO dan PKO) pada 2022 mencapai 46,28 juta ton atau lebih rendah dari 2021 yang mencapai 46,88 juta ton.
Sementara itu produksi minyak sawit pada 2023 mencapai 50,07 juta ton atau naik sebesar 7,15% dari tahun 2022. Sedangkan produksi minyak sawit pada 2024 tercatat 52,76 juta ton. Gapki memperkirakan produksi minyak sawit pada 2025 hanya akan tumbuh tipis 1,7% menjadi 53,60 juta ton.
Melihat fakta tersebut, tidak ada jalan lain, kita harus mengoptimalkan Program PSR. Harapannya dengan melakukan peremajaan atau replanting, maka produktivitas kebun milik petani akan meningkat.
Baca Juga: BPDP Geber Penyaluran Dana PSR dan Sarpras
“Program PSR ini sangat penting karena berdampak langsung terhadap produktivitas. Karena itu, lambannya program PSR perlu dicarikan terobosan agar kendala-kendala di lapangan dapat teratasi,” kata Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI) Kacuk Sumarto.
Beberapa hal yang perlu dibenahi dalam PSR antara lain penataan ulang peraturan-peraturan pemerintah yang mengatur PSR sampai dengan juklak dan juknis. “Sampai pola-pola pengamanan lapangan dengan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak terkait,” katanya.
Selain itu, aspek kesejahteraan petani perlu mendapatkan perhatian. Para petani sawit perlu melakukan perbaikan budidaya agar tanaman sawit menghasilkan produktivitas tinggi dan mutu buah bagus.
Pola pengusahaannya dengan industrialisasi juga harus diperbaiki, sehingga mereka memiliki pabrik pengolah buah secara bersama-sama. Dengan demikian petani tidak lagi mudah dipermainkan harga produksinya.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung menambahkan, PSR mau tidak mau harus dijalankan untuk menjaga produktivitas sawit Indonesia di masa depan. “Situasi global dalam satu tahun terakhir ini semakin menguatkan kenapa PSR harus dijalankan,” kata Tungkot.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Eddy Abdurrachman mengatakan, ada beberapa faktor utama yang menghambat pencapaian target PSR. Di antaranya adalah persyaratan program yang dinilai terlalu sulit bagi para petani khususnya terkait dengan status lahan.
Adapun faktor lainnya yang menjadi kendala replanting yakni masih belum optimalnya kemitraan antara perusahaan dengan pekebun. Karena itu, kata Eddy, BPDP ke depannya akan lebih menggalakkan kemitraan antara perusahaan dengan para petani serta berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) terkait untuk menyederhanakan segala syarat prasyarat dari program replanting tersebut. (SDR)