JAKARTA – Kelapa sawit telah memberikan kontribusi ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia ke lebih dari 160 negara pada 2022 mencapai nilai USD39,07 miliar atau setara Rp600 triliun.
Angka tersebut jelas menggambarkan bahwa tanaman asal Afrika ini telah mencapai masa keemasan di Indonesia. Namun, jauh sebelum kelapa sawit menjadi komoditas andalan Indonesia, dulu kita telah berjaya dengan tebu sebagai bahan baku pembuatan gula.
Selama bertahun-tahun sebelum Perang Dunia II, industri gula merupakan salah satu industri terpenting di Indonesia. Pada 1928, industri gula menghasilkan tiga perempat dari ekspor Jawa secara keseluruhan dan industri tersebut telah menyumbang seperempat dari seluruh penerimaan pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itu, terdapat 178 pabrik gula yang menyebabkan Jawa menjadi eksportir gula terbesar di dunia.
Baca Juga: Biar Riset Sawit Aplikatif, Ini yang Dilakukan BPDPKS
Soal kejayaan industri gula di Nusantara itu tinggal cerita. Kini kejayaan itu bergeser ke tanaman kelapa sawit. Namun lambat laun kejayaan sawit ini mulai terkikis, kejayaan itu terus ditekan, terus digerogoti, terutama oleh tuntutan keberlanjutan (sustainability) global.
Isu soal keberlanjutan inilah yang menjadi kegundahan dan keprihatinan Joko Supriyono yang kini sebagai Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). “Apakah cerita soal kejayaan kelapa sawit ini akan bernasib sama dengan gula? Tentu saja kita tidak mau,” ujar Joko Supriyono dalam sebuah kesempatan.
Kegundahan-kegundahan pria yang lebih dari 20 tahun aktif berkecimpung dalam industri sawit nasional ini dituangkan dalam sebuah buku berjudul “Masih Berjayakah Sawit Indonesia? Menghadapi Tuntutan Sustainability Global”. Buku yang terdiri dari 8 Bab dan 340 halaman ini diluncurkan di Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Baca Juga: Gawat, CPO Tak Kompetitif Lagi
“Industri sawit di Indonesia sejatinya sudah berjaya sebagai produsen, konsumen, dan eksportir. Tetapi buku ini mengingatkan kita supaya jangan terlena. Apakah kejayaan sawit yang berperan besar terhadap perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia akan terus berlanjut di masa mendatang,” kata Joko dalam sambutannya.
Joko Supriyono menjelaskan dalam dua dekade terakhir tantangan terberat adalah isu negatif. Hampir semua aspek kehidupan dijadikan senjata untuk menyerang industri sawit antara lain kesehatan, lahan gambut, kebakaran lahan, masyarakat adat, dan persoalan lingkungan.
“Di sinilah muncul pertanyaan, kenapa beragam isu negatif ini tidak dihadapi komoditas non sawit. Ada upaya-upaya menghambat perdagangan minyak sawit dan menimbulkan persepsi negatif terhadap produk sawit,” ujar lulusan Universitas Gajah Mada (UGM) Fakultas Pertanian ini.
Baca Juga: Gawat! Importer Utama Kurangi Pembelian CPO Indonesia
Berbagai tuduhan dan bahkan fitnah terhadap industri sawit selalu dikaitkan dengan label bahwa produk sawit tidak sustainable. Berbagai kelompok kepentingan global selalu menuntut dengan keras agar industri sawit mematuhi prinsip-prinsip sustainability.
Prinsip-prinsip tersebut secara kaku dipersyaratkan agar perusahaan-perusahaan sawit tetap bisa eksis di pasar minyak nabati global. “Pertanyaan kritisnya adalah, apakah tuntutan sustainability tersebut jujur demi menjaga eksistensi industri sawit atau sebaliknya, justru bertujuan melemahkan bahkan mematikannya?,” kata Joko Supriyono dalam kata pengantar buku tersebut.
Ironisnya, tuntutan sustainability tersebut secara konsekuen tidak diajukan kepada industri minyak nabati non sawit yang secara faktual sesungguhnya juga menghasilkan dampak-dampak lingkungan dan keberlanjutan yang dari beberapa segi bisa jadi lebih buruk dibandingkan dengan industri sawit.
Buku ini dibedah secara langsung oleh lima narasumber antara lain Dr. Musdhalifah Machmud (Staf Ahli Kemenko Perekonomian RI), Prof. Rachmat Pambudy (Guru Besar IPB University), Firman Subagyo, (Anggota DPR RI), Eddy Martono (Ketua Umum GAPKI), dan Prof. Dr. Bustanul Arifin (Guru Besar Universitas Lampung) yang dimoderatori Dr. Purwadi (Ketua Yayasan Pendidikan Kader Perkebunan Yogyakarta/YKPY).
Musdhalifah Machmud mengapresiasi buku yang diterbitkan oleh Joko Supriyono sebagai upaya kontemplasi atas permasalahan yang terjadi di industri sawit. Selain itu, rekomendasi penyelesaian masalah dapat dijadikan pertimbangan pemerintah dan stakeholder sawit untuk melangkah di masa depan.
Rachmat Pambudy juga mengapresiasi buku ini sebagai bagian membangun pengelolaan sawit yang tepat dan membangun koneksi antara hulu hilir sawit. “Saya belum di pemerintahan, tapi saya sampaikan bahwa pemerintah yang akan datang akan mendengarkan persoalan bangsa, tentu saja di antaranya persoalan-persoalan di sektor kelapa sawit ini,” ujar Rachmat Pambudy yang juga politikus Partai Gerindra ini.
Menurut pria yang dikenal dekat dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto ini, komoditas sawit telah terbukti memberikan kontribusi sangat besar bagi Indonesia. Karena itu, pemerintahan Prabowo Subianto dipastikan akan memberikan perhatian yang besar terhadap komoditas kelapa sawit. “Kenapa demikian? Karena kalau sawit kolaps, Republik ini juga akan kolaps,” katanya. (SDR)