JAKARTA – Kalimantan Barat (Kalbar) merupakan salah satu sentra perkebunan kelapa sawit nasional. Luas perkebunan kelapa sawit mendekati 1,5 juta hektare (ha) yang menyerap jutaan tenaga kerja.
Direktur Eksekutif Yayasan Integritas Justitia Madani Indonesia (Yayasan IJMI) Try Harysantoso mengatakan, Kalbar memiliki potensi yang sangat baik untuk berkembang lebih pesat lagi sebagai produsen kelapa sawit yang besar. Tentunya hal ini akan berkontribusi pada peningkatan ekonomi di Indonesia.
Namun dibalik itu, kata dia, harus dipastikan para pekerja bisa bekerja dengan kondisi yang baik, aman dan adil. “Sehingga penting untuk memastikan bahwa hak-hak dasar mereka terpenuhi dan dilindungi,” kata Try Harysantoso dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/4/2025).
Hak dasar pekerja sawit, kata Try Harysantoso, antara lain adalah upah layak, waktu kerja yang wajar, akses layanan kesehatan dan keselamatan kerja, serta kesempatan menyampaikan aspirasi secara aman. “Keseluruhan hak-hak dasar ini harus tertuang dalam kontrak kerja yang dibuat secara tertulis dan disepakati kedua belah pihak,” ungkapnya.
Baca Juga: Polisi Buru Pelaku Pembakaran Pabrik Sawit di Kalbar
Agus Sutomo, Direktur Eksekutif Lembaga Teraju Indonesia menemukan banyak pekerja sawit yang hak-haknya tidak terpenuhi karena mereka masuk dalam kategori Buruh Harian Lepas (BHL), sehingga jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan tidak terpenuhi.
Akibat lain dari status sebagai BHL ini, mereka tidak berhak mendapatkan THR, dan jika ada pemutusan kerja, maka mereka juga tidak berhak atas pesangon dan jasa kerja. “Posisi mereka lemah dan rentan,” ujar Agus Sutomo yang akrab disapa Bung Tomo ini.
Bung Tomo menjabarkan lebih detil bahwa fakta-fakta di lapangan tersebut mencerminkan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap standar ketenagakerjaan, terutama dalam hal perlindungan BHL. Melalui upaya advokasi dan investigasi, pihaknya mendapati berbagai permasalahan, salah satunya adalah ketidakpatuhan terhadap standar K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di beberapa perusahaan perkebunan sawit.
Baca Juga: Lagi, Pabrik Kelapa Sawit di Kalbar Dibakar Warga
Banyak perusahaan yang mengabaikan aspek ini, bahkan ketika alat pelindung diri (APD) diberikan, buruh seringkali dipaksa untuk membayar alat tersebut, yang seharusnya menjadi tanggungan perusahaan. Selain itu, masih ada perusahaan yang tidak memberikan fasilitas pemeriksaan kesehatan rutin bagi buruh yang berisiko terpapar bahan kimia, seperti pestisida dan pupuk kimia.
Sementara bagi pekerja sawit perempuan, kata Bung Tomo, mereka merupakan pekerja yang sangat rentan karena banyak bersentuhan dengan bahan kimia tanpa APD yang memadai dan pemeriksaan kesehatan rutin. Dengan status BHL, membuat mereka takut menuntut hak seperti cuti haid dan melahirkan.
“Mereka juga kerap mengalami pelecehan seksual, dan saat melapor justru diancam mutasi atau PHK oleh atasan.” ujar Bung Tomo.
Baca Juga: Warga Segel Kantor Perusahaan Sawit di Kalbar
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalbar Hermanus mengatakan, di Kalbar terdapat 12 kabupaten/kota dengan total 438 perkebunan sawit. Hermanus tidak memungkiri temuan-temuan di lapangan tersebut, di mana perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum mematuhi ketentuan, norma kerja, dan aturan K3.
“Sehingga kami pun berkomitmen dan senantiasa berupaya melakukan pembinaan baik edukatif maupun non-justisia dan represif, agar perusahaan benar-benar patuh terhadap norma ketenagakerjaan,” kata Hermanus.
Terkait norma kerja, misalnya, waktu kerja, ada pelanggaran terhadap ketentuan jam kerja yang berlaku, seperti pekerja yang bekerja melebihi jam yang ditetapkan. Selain itu, status hubungan kerja juga seringkali tidak sesuai, di mana pekerja yang seharusnya memiliki status perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) malah tetap dipertahankan dalam status yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Hal ini juga berlanjut pada ketidakpatuhan terhadap standar K3, di mana perusahaan sering mengabaikan penerapan budaya K3 yang seharusnya diterapkan untuk melindungi pekerja.
Seyogyanya perusahaan membentuk Panitia Pembina K3 atau P2K3, yang antara lain juga melakukan uji dan pemeriksaan berbagai peralatan dan alat-alat kerja, serta memastikan para pekerja sawit mendapatkan pelatihan yang cukup agar pekerja dapat berperforma baik.
“Pemantauan dan pengawasan memang harus kuat dan konsisten dilaksanakan, dan kami mengapresiasi usaha-usaha yang dilakukan oleh para mitra, seperti Teraju dan Yayasan IJMI,” kata Hermanus. (SDR)