JAKARTA – Pakar Hukum Kehutanan, Sadino, mendesak pemerintahan baru untuk lekas membenahi aturan-aturan yang menghambat hilirisasi industri kelapa sawit di Indonesia. Sadino menyoroti kompleksitas geopolitik sawit serta pentingnya regulasi yang mendukung pertumbuhan industri tersebut.
Menurut Sadino, kendati Indonesia optimistis mengenai masa depan biodiesel, namun industri sawit masih menghadapi persaingan ketat di tingkat global. “Kita optimistis boleh, tetapi kita juga harus melihat bahwa geopolitik sawit ini memiliki banyak kompetitor. Dengan adanya kompetitor ini, suara kita di dalam negeri saja tidak satu,” ujar Sadino dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Biodiesel untuk Negeri” dikutip SAWITKITA, Selasa (23/7/2024).
Dia menilai jika kebanggaan Indonesia sebagai pengekspor sawit nomor satu di dunia belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat luas. Pasalnya, mayoritas apresiasi hanya berangkat dari komunitas sawit itu sendiri. Sehingga, menurutnya, Indonesia masih belum percaya diri dalam menghadapi kompetisi global, khususnya menyangkut sawit.
“Saya menganggap bahwa dari negara ini saja belum percaya diri. Untuk menghadapi kompetisi, kita harus bersama-sama. Namun, saya yakin kita sudah menuju ke arah sana,” tambah Sadino.
Terkait program biodiesel, dirinya juga fokus pada regulasi sawit yang dari tahun 2008 lalu hingga sekarang masih banyak regulasi yang menghambat.
Adapun salah satu hambatan yang dia sebutkan adalah moratorium pembukaan lahan sawit yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2019. Menurutnya, perpres tersebut tidak memiliki batas waktu yang jelas, padahal program biodiesel juga memerlukan lahan.
“Lahan yang sekarang ada di Indonesia sangat terancam karena lembaga negara, termasuk pemerintah, tidak saling mengakui produk satu sama lain. Misalnya, jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan produk, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) tidak mau melihat produk tersebut,” ungkap Sadino.
Oleh sebab itu, dirinya juga mengkritik kurangnya koordinasi antar kementerian dan lembaga yang dia anggap malah mempersulit upaya dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh industri sawit. “Jika pola penyelesaiannya seperti itu, sawit akan menghadapi ancaman serius di Indonesia,” ucap dia.
Lebih lanjut, dia mengkritisi penelitian yang menyebut jika sawit sebagai tanaman yang rakus air dan merusak lingkungan. Hal ini bisa dipatahkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang telah menyatakan bahwa area perkebunan sawit mempunyai kondisi lingkungan yang baik.
Dirinya lantas mengajukan pertanyaan mengenai perbedaan data penelitian yang muncul mengingat kelapa sawit di berbagai daerah memiliki karakteristik yang serupa. “Mengapa data penelitiannya berbeda-beda? Apakah ada kompetisi di antara pohon sawit sendiri yang mempengaruhi hasil penelitian?” ujar dia.
Dirinya pun berharap agar penelitian yang membahas sawit dilakukan secara objektif dan tidak berdasarkan pesanan pihak-pihak manapun. “Saya menduga penelitian yang menyatakan sawit merusak lingkungan mungkin didasarkan pada proyekan. Artinya ada pesanan dibalik penelitian tersebut,” ujar Sadino.
Terakhir, Sadino menegaskan pentingnya perbaikan regulasi untuk memastikan keberlanjutan industri sawit, khususnya dalam hal biodiesel dan hilirisasi. Hal tersebut juga untuk menjaga kelangsungan biodiesel dan investasi jangka panjang dalam industri sawit. (SDR)