JAKARTA – Pemerintah diminta berlakukan tarif ekspor limbah cair kelapa sawit (palm oil mill effluent/POME) sama dengan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga pada acara buka bersama di Kantor Asosiasi Produsen Bioefuel Indonesia (APROBI), Kuningan, Jakarta, Kamis (21/3).
Sahat menyoroti pungutan ekspor (PE) POME hanya US$5 per ton, sementara CPO biaya ekspornya US$113 per ton. Padahal, kualitasnya sama-sama produk hulu.
“Kenapa pajaknya US$5? Sedangkan CPO kalau tidak salah US$98 PE-nya, BK (bea keluar) US$15. Jadi US$113 dibandingkan POME US$5. Padahal kualitasnya sama-sama produk hulu. Ini bukan downstream,” kata Sahat.
Baca Juga:
- PTPN IV Gandeng Perusahaan Malaysia Kembangkan CBG dari Limbah Sawit
- ULM Ciptakan mesin Bioreaktor Membran untuk Limbah POME
Menurut Sahat, selama ini pihak luarlah menikmati keuntungan ratusan dolar per ton dari POME. Padahal, setidaknya ekspor POME Indonesia sebesar 1,7 juta ton semenjak dua tahun terakhir.
Sahat menilai Indonesia telah kecolongan lantaran POME saat ini telah diekspor ke Eropa dengan harga murah. Hal tersebut, ujar Sahat, tentunya sangat diidam-idamkan pengusaha biofuel negara Eropa.
“POME itu by product, hasil samping sehingga emisi karbonnya itu rendah. Bentuknya nanti minyak bisa dibuat untuk biodiesel. Jadi, industri biofuel Eropa mengidam-idamkan ini termasuk UCO untuk bahan bakar dan itu subsidinya gede makanya harga POME ini lebih tinggi dibanding CPO,” kata dia.
Baca Juga:
- GAPKI: Industri Sawit Hasilkan Energi Bersih Melalui Methane Capture
- POME, Limbah Cair Sawit yang Berpotensi Jadi Sumber Energi Terbarukan
Sahat sendiri mengaku telah meminta kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) agar POME dimasukkan ke dalam empat bahan yang terkait dengan domestik market obligation (DMO).
“Saya sudah sampaikan ke Kemendag 6 bulan lalu agar segera action. Proposal saya segera POME masuk ke empat bahan yang terkait dengan DMO. Karena sifatnya hulu, kenakan PE dan BK sama dengan CPO, supaya fair,” kata dia.
Selain itu, Sahat juga meminta agar pemerintah juga mewajibkan para eksportir POME terdaftar.
“Supaya di-trace you di mana dapatnya. Ada dua jenis, ada riil POME, tidak ada 260 juta liter. Karena ngambilnya harus teknologi skim belt. Berapa perusahaan di republik ini yang punya teknologi itu? Mungkin hanya ada 5. Dulu pernah saya pakai. Skim belt itu impor dari Norwegia,” kata Sahat. (NYT)