JAKARTA – Penyitaan lahan sawit yang dinilai ilegal oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas Sawit) kini telah mencapai lebih dari 1 juta hektare (ha) mulai mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat.
Pengacara Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Akhmad Taufik secara khusus mengirimkan surat tertulis kepada Presiden Prabowo Subianto. Dalam suratnya, dia secara khusus meminta agar penertiban kawasan hutan tidak melanggar hukum.
Akhmad mengungkapkan, secara hukum tidak ada kawasan hutan di Kalimantan Tengah (Kalteng). Sebab, selama ini, belum pernah dilakukan penetapan kawasan hutan di Kalteng sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Jo Pasal 36 pada UU No 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang Undang.
Baca Juga: Prabowo Perintahkan Satgas Tertibkan Lahan Sawit
“Berdasarkan aturan di atas pengukuhan kawasan hutan harus dilakukan melalui proses mulai dari tahap penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan baru terakhir penetapan kawasan hutan,” ujar Akhmad Taufik dalam keterangannya, Senin (21/4/2025).
Dia mengungkapkan terkait ketentuan di atas dikaitkan dengan fakta di lapangan, belum terdapat kawasan hutan di Kalteng yang telah melalui tahapan-tahapan pengukuhan kawasan hutan.
“Kesemuanya baru pada tahapan penunjukan. Jadi secara hukum di Kalteng itu tidak ada kawasan hutan. Karena belum melalui tahapan tahapan sebagaimana diatur dalam perundangan,” ujarnya.
Baca Juga: Satgas PKH Serahkan 438.000 Hektare Kebun Sawit Sitaan ke Agrinas
Dia mengungkapkan, jika Surat Menteri Pertanian No 759/KPTS/Um/l0/l982 tanggal 12 Oktober 1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas 15.300.000 ha diterapkan, hampir seluruh wilayah Kalteng masuk dalam kawasan hutan.
Sebab, luas Kalteng sendiri adalah sekitar 15.426.889 ha. “Kalau merujuk surat di atas, Kalteng itu hutan semua, tidak ada kota, tidak ada desa,” paparnya.
Masalah kawasan hutan tersebut terus menjadi polemik. Dalam perjalanannya, pada 2010 terjadi kemelut hukum dalam pelaksanaannya antara pemerintah daerah dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut).
Baca Juga: Satgas PKH Tertibkan Kebun Sawit Ilegal 1.622 Ha di Sumatera Barat
Bahkan, kala itu, Menteri Kehutanan bersikukuh pemberlakukan Keputusan Menteri Pertanian No 759/KTPS/UM/ 10/1982 tersebut. Menanggapi sikap Menteri Kehutanan, sejumlah kepala daerah akhirnya melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dinyatakan menang.
Taufik yang menjadi salah satu pemohonnya mengatakan, Kemenhut ternyata tidak mau mengindahkan putusan MK dengan tetap bersikukuh melakukan penunjukan kawasan hutan. Penunjukan kawasan hutan di Provinsi Kalteng menurut SK: 529/Menhut-II/2012 adalah 12.697.522 ha (82,45 %), sedangkan kawasan non hutan seluas 2.707.073 ha (17,55%) dari luas Provinsi Kalteng seluas 15.426.889 ha.
“Kalau berdasarkan MK, penunjukan itu tidak punya kekuatan hukum mengikat karena melanggar UUD. Masak Menteri Kehutanan tetap bersikukuh pakai penunjukan. Berarti beliau tidak mengindahkan putusan MK,” ungkapnya.
Ditambah lagi, dalam UU NO 5 Tahun 1967 dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga tidak ada kata penunjukan kawasan hutan, yang ada adalah penetapan kawasan hutan. Begitu pula di UU Cipta Kerja. Yang menjadi masalah sekarang ini tidak adanya kepastian hukum terkait kawasan hutan di Kalteng.
Perda No 8 Tahun 2003 menyebut Kawasan Hutan luasnya 66%, sedangkan kawasan non hutan 34%. Aturan tersebut diubah Perda No 5 Tahun 2015 yang mengubah kawasan hutan menjadi 88%, lahan non hutan (12%).
Merujuk pada perda baru itu berarti kawasan hon hutan yang sebelumnya luasnya 34% berkurang menjadi 12%. “Hal inilah yang menjadikan tidak ada kepastian hukum di negara hukum ini,” jelasnya.
Akibat perda tersebut, lahan perumahan 8 ha miliknya yang sebelumnya wilayah non hutan diklaim menjadi masuk kawasan hutan. Akhmad Taufik mengaku sudah mengantongi izin lokasi, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan juga sertifikat yang sah.
Dia berharap bisa mendapatkan keadilan atas masalah tersebut. Apalagi, perumahan itu telah dihuni oleh masyarakat. Terkait hal tersebut, dia meminta Presiden Prabowo untuk tegas menegakkan hukum dalam penertiban kawasan hutan.
“Silakan pemerintah lakukan penegakan hukum tapi jangan melanggar hukum. Lakukan tahapan-tahapan penetapan hutan yang diatur oleh UU. Kan pemerintah juga yang membuat UU. Jangan pemerintah merampas hak rakyat,” tandasnya.
Taufik juga menyertakan Surat Jaksa Agung RI, No. B.072A/A.GP.1/09/2010, tanggal 21 September 2010, Perihal Permohonan Pertimbangan Hukum atas keterlanjuran Pemanfaatan Kawasan Hutan, yang ditandatangani oleh Jaksa Agung RI Hendarman Supandji.
Di mana pokok intinya kawasan hutan yang disahkan oleh pemerintah harus melalui tahapan-tahapan penetapan kawasan hutan terlebih dulu. Karena itu, Akhmad Taufik menuliskan bahwa secara hukum, tindakan hukum Satgas Sawit yang melakukan penyitaan lahan perkebunan sawit di Kotawaringin Timur pada khususnya dan Kalteng pada umumnya merupakan perbuatan melawan hukum.
“Banyak warga Kalteng yang resah terkait penertiban hutan yang dilakukan satgas, namun mereka tidak berani bersuara,” katanya. (ANG)