JAKARTA – Pemerintah sedang melakukan revisi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan melalui sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk produk kelapa sawit. Tujuan revisi ini untuk memperluas cakupan obyek yang disertifikasi.
Jika selama ini sertifikat ISPO hanya meliputi sisi hulu yaitu di perkebunan dan hasil pengolahan kebunnya. Namun, atas inisiasi Kemenko Perekonomian, ruang lingkup sertifikasi ISPO pun didorong untuk bisa diperluas hingga ke sisi hilir. Tujuannya untuk mendongkrak daya saing produk turunannya, termasuk energi atau bahan bakar.
Diperluasnya ruang lingkup sertifikasi ISPO tersebut diharapkan nantinya hanya ada satu ISPO yang diterapkan secara nasional. Sertifikasi ISPO hanya satu secara nasional, tidak ada lagi ISPO hilir, ISPO hulu, ataupun ISPO rantai pasok.
Perluasan ruang lingkup sertifikasi ISPO hingga ke hilir tersebut diharapkan akan meningkatkan nilai keberterimaan produk sawit dan turunannya di pasar global. Dengan ISPO yang baru ini nantinya kita akan bisa menyampaikan kepada masyarakat global bahwa produk-produk yang dibutuhkan global itu sustainable (berkelanjutan) dan ramah lingkungan. Selain itu juga terjamin traceability (keterlacakan) produksinya.
Tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ermanto Fahamsyah mengungkapkan bahwa ISPO yang diperbarui ini akan mencakup tiga sektor utama. Pertama, sector hulu (perkebunan) akan memiliki kebijakan sertifikasi yang diperbarui. Kedua, sector hilir (industry turunan) akan mendapatkan perhatian yang lebih besar. Ketiga, sector bioenergy juga akan diatur dengan prinsip dan kriteria ISPO yang baru.
Namun, detil implementasi aturan ini tidak akan secara eksplisit tercantum dalam perpres yang direvisi. Aturan tersebut akan ditetapkan dalam regulasi turunan yang ditetapkan masing-masing kementerian terkait. Seperti Kementerian Pertanian untuk sektor hulu, Kementerian Perindustrian untuk sector hilir, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk sector bioenergi.
ISPO yang diperbarui ini akan menjadi kebijakan yang wajib diikuti oleh seluruh pemangku kepentingan di industri minyak kelapa sawit. Proses revisi tersebut kini sedang dalam tahap konsultasi publik untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat. Namun, dalam proses revisi ini justru tidak melibatkan pemangku kepentingan di bidang kelapa sawit.
“Revisi Perpres ISPO jangan seperti barang gaib tiba-tiba langsung muncul hasilnya. Semua asosiasi perlu dimintakan usulan baik itu GPPI, Apkasindo, POPSI, GAPKI, dan lainnya,” ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Delima Hasri Azahari dalam diskusi bertema Penguatan Regulasi ISPO Bagi Pekebun Swadaya di Serpong, Tangerang Selatan pada 8 September 2023.
Pada kesempatan yang sama Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung meminta pemerintah agar transparan dan terbuka dalam proses penyusunan Perpres ISPO yang baru. Karena kebijakan sertifikasi ini juga berdampak kepada petani sawit dalam proses implementasinya. “Kami minta revisi ISPO ini jangan menjadi barang gaib. Tiba-tiba muncul regulasinya tetapi petani dilibatkan dalam proses revisi,” ujar Gulat.
Dalam penerapan aturan ISPO yang lama, dikatakan Gulat, masih banyak hambatan yang dihadapi petani sawit. Ruwetnya hambatan ini terbukti dari realisasi ISPO di perkebunan sawit rakyat baru 0,31% atau sekitar 22.000 hektare (ha) dari total luas perkebunan petani 6,72 juta ha.
Dalam presentasinya, Gulat menerangkan terdapat lima hambatan ISPO di perkebunan sawit petani. Pertama, persoalan legalitas masih ditemukan kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan.
Kedua, masalah pendaanan sertifikasi ISPO yang cukup sulit bagi petani. Ketiga, persoalan pendampingan dan edukasi serta sosialisasi yang minim kepada KUD/Kelompok Tani. Keempat adalah tidak ada insentif bagi penerima ISPO. Kelima, masalah penggunaan bibit illegitim. Keenam yaitu administrasi petani belum tercatat dengan baik.
Berpijak dari keenam hambatan inilah, Gulat meragukan petani sawit mampu memenuhi kewajiban (mandatori) sertifikasi ISPO petani pada 2025 mendatang.
Ketua Umum Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya (POPSI) Pahala Sibuea sepakat dengan tantangan ISPO petani sebagaimana yang disampaikan Gulat Manurung. Menurutnya, petani masih menanyakan implementasi dan manfaat ISPO.
Selama ini proses sosialisasi ISPO di daerah belum berjalan maksimal karena minimnya pemahaman dinas perkebunan daerah terkait ISPO. “Hal inilah masalah sebenarnya. Sebab peran dinas dalam menyukseskan sertifikasi ISPO sangat fundamental, sehingga pengetahuan proses tentang ISPO dari hulu hingga hilir wajib diketahui oleh dinas,” jelas Pahala.
Berdasarkan catatan POPSI, petani sawit menghadapi sejumlah persoalan yaitu pengurusan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) yang berbelit-belit di tingkat dinas dengan mekanisme yang cukup Panjang. Di beberapa daerah masih mensyaratkan wajib melampirkan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saat pengambilan STDB. Selain itu biaya proses sertifikasi ISPO dan Audit cukup tinggi, diluar kemampuan petani.
“Ironisnya, bila mengusulkan pembiayaan ke BPDPKS memerlukan waktu dan proses yang panjang sehingga sangat menyulitkan petani,” kata Pahala.
Tantangan berikutnya yaitu diperlukannya Auditor Internal atau internal Control System (ICS) yang bertanggungjawab terhadap prinsip dan kriteria ISPO di kelompok/koperasi pekebun. Selanjutnya, ada perbedaan tafsiran P&C ISPO di kalangan auditor sehingga berdampak kesulitan pemenuhan dokumen ditingkat kelompok.
Contohnya, ada pemahaman auditor yang memahami kelompok harus bermitra dengan perusahan terdekat, namun ada juga yang memahami tidak perlu bermitra. Sehingga menyulitkan petani dalam pemenuhan dokumen, di mana kemitraan antara kelompok/koperasi dengan perusahaan. (SDR)