MINYAK goreng sawit (MGS) merupakan salah satu dari sembako (sembilan bahan pokok) di Indonesia. Selain dikonsumsi pada rumah tangga, MGS juga dikonsumsi di luar rumah tangga yakni oleh industri pangan, termasuk UKM kuliner. Oleh karena itu, kenaikan harga MGS memiliki dampak luas bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
Sebagai bagian dari pasar minyak nabati dunia, pasar MGS juga terpengaruh oleh berbagai variabel yang mempengaruhi pasar minyak nabati khususnya pasar minyak sawit dunia. Ketika harga minyak sawit dunia meningkat, secara normal kenaikan harga tersebut akan ditransmisikan ke pasar MGS domestik.
Kondisi tersebut direspon dengan kenaikan harga MGS hingga memicu kelangkaan MGS di pasar. Mengingat Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia (PASPI, 2023; USDA, 2024), kondisi di atas menjadi sebuah ironi yang sulit diterima oleh masyarakat Indonesia baik secara sosial maupun politik.
Baca Juga:
- Apical Siap Operasikan Pabrik Minyak Goreng dan Biodiesel di Padang
- Harga Minyak Goreng Naik, Zuhas: Masih Wajar
Dalam dua bulan pertama tahun 2024 ini, harga MGS domestik cenderung meningkat akibat berbagai faktor. Jika tidak diantisipasi sesegera mungkin, tidak menutup kemungkinan masalah MGS domestik pada semester 1 tahun 2022 (PASPI Monitor, 2023a) akan kembali terulang.
Artikel ini akan mendiskusikan kecenderungan kenaikan harga MGS domestik. Kemudian akan dilanjutkan dengan diskusi terkait penyebab terjadinya kenaikan harga minyak sawit dunia yang dapat mempengaruhi pergerakan kenaikan lebih lanjut harga MGS domestik.
Menjauhi Harga CPO
Dalam konteks konsumsi MGS domestik di Indonesia dewasa ini, target dalam kebijakan stabilitas penyediaan MGS dari pemerintah adalah MGS curah yang dikonsumsi oleh konsumen berpendapatan menengah ke bawah, termasuk UKM kuliner. Sekitar 60% konsumen MGS curah di Indonesia adalah target masyarakat tersebut. Sedangkan MGS kemasan dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan menengah ke atas.
Dalam menjaga stabilitas penyediaan dan harga MGS domestik selama ini, pemerintah menerapkan dua kebijakan. Pertama, kebijakan pungutan ekspor (export levy) yang dikaitkan dengan hilirisasi sawit domestik (Sipayung, 2018; PASPI Monitor, 2023c, 2024). Kebijakan pungutan ekspor sawit tersebut diberlakukan sejak tahun 2015 hingga saat ini.
Kebijakan pungutan ekspor tersebut berhasil melindungi stabilitas penyediaan MGS domestik. Selama periode Januari 2021 hingga September 2022, harga MGS curah domestik lebih rendah dari harga RBD Olein (setara MGS curah) internasional (PASPI Monitor, 2023b, 2023d).
Kedua, kebijakan DMO (Domestic Market obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation) yang diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 33 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Curah Rakyat pada tanggal 23 Mei 2022 (Kementerian Perdagangan, 2023; PASPI Monitor, 2023d). Pemenuhan DMO dan DPO tersebut menjadi syarat penerbitan persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya.
Baca Juga:
- Kebijakan DMO Masih Berlaku, Begini Masukan Dunia Usaha
- Bursa CPO Masih Sepi, Pemerintah Siapkan Insentif Pajak dan DMO
Kemudian kebijakan tersebut diperluas melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 41 Tahun 2022, dimana DMO tidak hanya berlaku untuk minyak goreng curah tetapi juga minyak goreng kemasan sederhana (Minyakita). Pengintegrasian DMO untuk CPO dan produk turunan termasuk minyak curah dan Minyakita dengan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada level konsumen diberlakukan sejak tanggal 29 September 2022 melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 49 Tahun 2022.
Kebijakan DMO dan DPO tersebut mengatur setidaknya tiga hal utama yakni: (1) target DMO dalam bentuk minyak goreng sekitar 300.000 ton per bulan; (2) pemenuhan DMO menjadi dasar pemberian izin ekspor dengan rasio tertentu (dimulai dari rasio 4) yang disesuaikan dengan perkembangan pasar; dan (3) DPO atau HET pada level konsumen untuk minyak goreng curah/Minyakita ditetapkan sebesar Rp14,000/liter atau Rp15,500/kilogram.
Apakah kebijakan DMO dan DPO berhasil mencapai target yang ditetapkan? Hal tersebut menarik untuk didiskusikan. Pergerakan harga MGS curah domestik sejak diberlakukan DMO dan DPO tersebut menunjukkan beberapa hal berikut:
Pertama, sejak pemberlakuan DMO dan DPO (September 2022 sampai sekarang), target DPO MGS curah secara relatif telah tercapai. Namun sejak September 2022, harga minyak sawit dunia termasuk RBD Olein dunia telah menurun dan lebih rendah dari harga DPO MGS curah. Hal ini menunjukkan konsumen MGS curah domestik membayar harga MGS curah lebih mahal daripada harga internasional, mengingat DPO MGS curah tidak pernah berubah.
Kedua, pergerakan harga MGS domestik menjauhi harga DPO yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (2024) dalam periode Januari-Awal Maret 2024 (Gambar 2), harga MGS curah masih sekitar Rp15,500 per kilogram (sama dengan DPO) pada minggu ketiga Januari 2024 kemudian harga tersebut mengalami peningkatan menjadi Rp16,000 per kilogram pada minggu ketiga bulan Februari 2024. Peningkatan harga MGS curah masih terus berlanjut menjadi Rp16,300 per kilogram pada minggu ketiga bulan Maret 2024.
Dengan data-data tersebut menunjukkan bahwa pergerakan harga MGS curah domestik sedang menjauhi harga MGS curah yang ditetapkan pemerintah (DPO). Sehingga kebijakan DMO dan DPO yang berlaku sejak bulan September 2022 tidak efektif menjaga harga MGS curah domestik.
Potensi Kenaikan Harga CPO Dunia
Apakah pergerakan MGS curah domestik yang menjauhi DPO akan berlanjut ke depan? Hal ini tergantung pada kondisi pasar minyak sawit dunia. Setidaknya terdapat lima variabel pasar minyak sawit dunia yang perlu memperoleh perhatian dan berdampak pada harga MGS curah domestik.
Pertama, kenaikan harga minyak bumi dunia. Dalam periode Januari 2024 hingga pertengahan bulan Maret 2024, harga crude oil telah meningkat dari sekitar USD75 per barrel pada awal Januari 2024 meningkat menjadi sekitar USD84 per barrel atau meningkat sekitar 12% dalam kurang dari 3 bulan.
Tren peningkatan harga tersebut terutama diakibatkan oleh geopolitik di Timur Tengah dan Rusia-Ukraina. Biasanya setiap kenaikan harga minyak bumi mentah akan diikuti oleh kenaikan harga minyak nabati termasuk minyak sawit dunia.
Kedua, stok minyak sawit negara-negara importir minyak sawit dunia mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu maupun bulan lalu. Stok minyak sawit India pada bulan Januari 2024 turun sekitar 21% dibandingkan Januari 2023 lalu.
Baca Juga:
- Harga Referensi CPO Naik, Pungutan Ekspor Dipatok USD75/MT
- GAPKI Prediksi Ekspor CPO di 2024 Turun, Analis: Akan Picu Kenaikan Harga
Demikian juga stok minyak sawit China mengalami penurunan sekitar 24% pada periode yang sama. Penurunan stok minyak sawit negara-negara importir minyak sawit akan mengerek kenaikan harga minyak sawit dunia.
Ketiga, penurunan stok minyak sawit negara negara eksportir utama minyak sawit dunia. Saat ini stok minyak sawit Indonesia dan Malaysia mengalami penurunan sekitar 10-20% dibandingkan tahun sebelumnya akibat penurunan produksi. Penurunan stok minyak sawit di negara eksportir utama minyak sawit dunia menjadi sinyal bahwa pasokan minyak sawit ke pasar dunia akan turun sehingga akan mendorong harga minyak sawit dunia meningkat.
Keempat, mata uang rupiah Indonesia dan ringgit Malaysia terhadap dolar Amerika Serikat mengalami depresiasi yang cukup besar pada awal tahun. Pada awal bulan Januari 2024, rupiah Indonesia masih bertengger pada level Rp15,300/USD kemudian nilai tersebut terdepresiasi menjadi Rp15,600/USD pada pertengahan bulan Maret 2024. Depresiasi nilai tukar rupiah dan ringgit ini membuat ekspor minyak sawit makin kompetitif di mata importir.
Kelima, periode bulan Maret-April 2024 bertepatan dengan bulan Ramadhan dan Idul Fitri yang dirayakan oleh negara-negara berpenduduk muslim seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Bangladesh. Biasanya pada masa bulan Ramadhan dan Idul Fitri terjadi peningkatan konsumsi minyak goreng sawit dan produk oleofood sawit lainnya sekitar 10%. Hal ini akan mendorong kenaikan harga MGS.
Dengan kelima hal di atas, potensi kenaikan harga minyak sawit dunia tahun ini akan cukup besar. Kenaikan harga minyak sawit dunia akan mendorong kenaikan harga MGS curah di dalam negeri.
Kondisi ini perlu diantisipasi pemerintah sejak dini agar kejadian kelangkaan MGS seperti yang terjadi pada tahun 2022 tidak terulang lagi. Sebagai produsen sekaligus konsumen minyak sawit terbesar dunia, pemerintah Indonesia perlu mendesain kebijakan yang menyeimbangkan stabilisasi penyediaan MGS domestik dengan upaya peningkatan devisa dari ekspor sawit.
Kesimpulan
Harga minyak goreng curah domestik pada periode Januari-Maret 2024 mengalami pergerakan positif hingga naik menjauhi harga MGS curah (DPO) yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan data tersebut, tampaknya kebijakan DMO dan DPO tidak efektif lagi sehingga perlu segera dievaluasi.
Potensi kenaikan harga MGS curah lebih lanjut pada bulan-bulan ke depan sangat besar akibat kenaikan harga minyak bumi, stok minyak sawit yang menurun baik di negara importir maupun eksportir, depresiasi rupiah dan ringgit, dan perhelatan dunia pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Hal ini perlu diantisipasi pemerintah agar kejadian kelangkaan MGS tidak terulang lagi.
Implikasi Kebijakan
Kebijakan DMO dan DPO yang ditempuh pemerintah sejak tahun 2022 untuk menjamin stabilisasi minyak goreng domestik harus segera dievaluasi. Di sisi lain, potensi kenaikan harga MGS beberapa bulan ke depan terjadi, mengingat pergerakan supply dan demand minyak sawit dunia mengarah pada excess demand.
Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif kebijakan pengganti kebijakan DMO dan DPO agar ironi kelangkaan MGS tahun 2022 tidak terjadi lagi. Kombinasi kebijakan pungutan ekspor yang fleksibel dengan penugasan BUMN (PTPN dan BULOG/ID-Food) dalam menyediakan minyak goreng yang ditujukan untuk segmen masyarakat menengah ke bawah dan UMKM kuliner dinilai menjadi alternatif kebijakan yang dapat menyeimbangkan stabilisasi penyediaan MGS domestik dengan upaya peningkatan devisa dari ekspor sawit. (SDR)