JAKARTA – Sejarah perkembangan industri kelapa sawit Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial. Industri kelapa sawit seperti yang kita kenal saat ini berasal dari empat benih kelapa sawit Dura yang diperoleh dari Bourbon, Mauritius dan Amsterdam oleh Dr DT Pryce pada 1848.
Benih-benih tersebut kemudian dijadikan sebagai tumbuhan koleksi di Kebun Raya Bogor (Buitenzorg Botanical Gardens). Bijih kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor kemudian ditebarkan ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, sebagai tanaman hias.
Sebagaimana jurnal ditulis Direktur Eksekutif PalmOil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung dan telah dipublis palmoilina.asia, percobaan kelapa sawit pertama dilakukan di Banyumas (Jawa Tengah) dan Palembang (Sumatera Selatan). Percobaan penanaman yang dilakukan pada 1859-1864 ini dengan total lahan seluas 4,14 hektare (ha).
Hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa tanaman kelapa sawit tumbuh lebih cepat di Indonesia dibandingkan di daerah asalnya dan menghasilkan minyak yang lebih banyak.
Perkembangan Kelapa Sawit Indonesia
Sejarah perkembangan kelapa sawit di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase perintisan, fase kebangkitan, dan fase kemandirian.
Fase Perintisan
Pada 1870 merupakan tahun penting dalam sejarah perkebunan kelapa sawit Indonesia, karena pemerintah kolonial Belanda membuka peluang usaha ini bagi investor swasta dan asing melalui kebijakan Agrarische Wet.
Uji coba pertama perkebunan kelapa sawit dilaksanakan 1875 oleh Deli Maatschappij dengan luas 0,4 ha di Tanah Deli dan hasilnya sangat baik, bahkan lebih unggul dibanding habitat asalnya di Afrika Barat.
Baca Juga: Monumen 75, Tonggak Sejarah Kelapa Sawit di Riau
Setelah itu, perusahaan Belgia membuka usaha perkebunan kelapa sawit komersial pertama pada 1911 di Pulau Raja dan Sungai Liput. Perusahaan-perusahaan asing lain seperti Jerman, Belanda, dan Inggris pun berlomba-lomba membuka perkebunan kelapa sawit.
Pada 1911, perusahaan Jerman juga membuka usaha perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu. Langkah investor Belgia dan Jerman tersebut diikuti oleh investor asing lainnya termasuk Belanda dan Inggris.
Tahun 1916 telah ada 19 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan meningkat menjadi 34 perusahaan pada 1920. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pertama di Indonesia dibangun di Sungai Liput (1918) kemudian di Tanah Itam Ulu (1922).
Pada 1919 menandai tahap awal pembangunan PKS pertama dan mencatat ekspor minyak sawit (CPO) pertama sebanyak 576 ton. Produksi CPO Indonesia mencapai puncaknya pada 1937 dengan pangsa 40% dari total produksi CPO dunia, mengalahkan Nigeria sebagai produsen terbesar sebelumnya.
Sayangnya, produksi CPO Indonesia menurun drastis setelah itu, dari 239.000 ton pada 1940 menjadi 147.000 ton pada 1958. Akibatnya, pangsa Indonesia di pasar CPO dunia melorot dari urutan pertama menjadi ketiga setelah Nigeria dan Kongo, dan pada 1959 hanya 17%.
Fase Kebangkitan
Pada fase kebangkitan, sejak Orde Baru memegang kekuasaan pada 1966 di Indonesia, terjadi perubahan besar dalam politik ekonomi pemerintah. Dalam upaya untuk memperluas peluang bagi dunia usaha dan investasi swasta, pemerintah menerbitkan Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang membuka jalan untuk masuknya investasi baru dalam perkebunan kelapa sawit.
Stabilnya situasi politik dan ekonomi pada saat itu, ditambah dengan bantuan modal dan tenaga ahli dari berbagai negara, memberikan dorongan baru bagi pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Baca Juga: Kenapa 18 November Diperingati Sebagai Hari Sawit Nasional?
Kebijakan yang menguntungkan yang diterapkan pemerintah waktu itu menstimulasi dunia usaha, termasuk perkebunan negara, untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal baru.
Ini tercermin dari peningkatan cepat luas areal perkebunan swasta dan negara, yang meningkat dari hanya 119.000 pada 1969 menjadi 3,9 juta pada 1999. Produksi CPO juga meningkat signifikan, dari hanya 188.000 ton pada 1969 menjadi 6,4 juta ton pada 1999, sebagian besar karena peningkatan produktivitas. Selain itu, perkebunan rakyat berkembang pesat dan sentra perkebunan kelapa sawit semakin menyebar ke provinsi lain. (Badrun, 2010; Sipayung, 2012).
Fase Kemandirian
Periode kemandirian, pada 2000-2010, memperlihatkan perubahan drastis baik pada lingkungan strategis maupun pada industri kelapa sawit nasional. Setelah krisis multidimensi yang memukul Indonesia pada 1998, rezim Orde Baru berakhir dan Indonesia memasuki era baru, yaitu era reformasi.
Pada era ini, perubahan yang signifikan terjadi pada seluruh aspek kehidupan Indonesia, termasuk perubahan sistem ketatanegaraan dari rezim otoriter menjadi rezim demokrasi, perubahan pengelolaan pemerintahan dan pembangunan dari sentralisasi menjadi sistem desentralisasi (otonomi daerah), dan perubahan pengelolaan perekonomian dari rezim protektif menjadi sistem ekonomi lebih liberal (Sipayung, 2012).
Sementara itu, produksi CPO mengalami peningkatan yang luar biasa dari sekitar 5,2 juta ton pada 2000 menjadi 11,3 juta ton pada tahun 2010, membuktikan semakin pesatnya perkembangan industri minyak sawit nasional.
Di sisi lain, berkembangnya perkebunan rakyat dan perkebunan negara menjadi tanda bahwa kemandirian Indonesia dalam mengelola sumber daya alam dan membangun industri minyak sawit nasional mulai terlihat.
Dukungan dari pemerintah dan peningkatan liberalisasi ekonomi yang diterapkan memberikan ruang bagi dunia usaha termasuk perkebunan kelapa sawit untuk mengembangkan usaha mereka dengan lebih bebas.
Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada 2000-2010 sangat mengesankan. Luas perkebunan swasta melonjak dari 2,4 juta ha pada 2000 menjadi 3,9 juta ha pada 2010.
Secara keseluruhan, perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat dari 4,1 juta ha pada 2000 menjadi 9,15 juta ha pada 2013, atau lebih dari dua kali lipat dalam waktu 13 tahun. Produksi Crude Palm Oil (CPO) juga meningkat 3,5 kali lipat dalam 13 tahun terakhir, dari 7 juta ton pada 2000 menjadi 24,5 juta ton pada 2013.
Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit Indonesia dalam periode 2000-2010 tersebut juga lebih berkualitas dari sebelumnya. (Sipayung, 2012). Pertama, selama periode 2000-2010, luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat sebesar 367.000 ha per tahun, sedangkan sebelumnya hanya 126.000 ha per tahun.
Kedua, Indonesia berhasil membangun 4 juta ha kebun sawit dalam sepuluh tahun, sedangkan sebelumnya Indonesia memerlukan waktu hampir 90 tahun untuk mencapai luasan yang sama.
Ketiga, meski menghadapi kondisi yang sulit, perkebunan kelapa sawit juga tidak menerima dukungan dan fasilitas dari pemerintah, berbeda dengan 20 tahun terakhir era Orde Baru (1980-2000) di mana lingkungan stabil dan pemerintah memberikan fasilitas dan dukungan bagi perkebunan kelapa sawit.
Keempat, peran perkebunan kelapa sawit rakyat semakin besar. Pangsa kelapa sawit rakyat meningkat dari 28% pada 2000 menjadi 42,4% pada 2010. Ini terjadi tanpa dukungan kredit dari pemerintah, melainkan berasal dari modal dan kredit komersial perbankan.
Keberhasilan perkebunan kelapa sawit rakyat dalam memperbesar pangsa mereka dalam industri minyak sawit nasional ini merupakan hasil dari kelembagaan inti-plasma yang dikembangkan sejak 1980. Dalam kelembagaan ini, perkebunan negara (BUMN) dan perkebunan swasta bertindak sebagai inti yang memberikan layanan teknologi, pengetahuan, dan avalis bagi perkebunan rakyat.
Pada 2000 hingga 2010, industri minyak sawit di Indonesia tidak hanya berhasil memperluas wilayah kebunnya, tetapi juga sukses dalam meningkatkan produksi CPO. Hasilnya, pada 2006 Indonesia berhasil mengalahkan Malaysia sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Pada 2010, pangsa Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia mencapai 48%.
Kesuksesan Indonesia dalam meningkatkan produksi CPO juga membawa dampak besar terhadap pasar minyak nabati dunia. Minyak kedelai, yang selama hampir 100 tahun memimpin pasar minyak nabati dunia, tergeser oleh minyak sawit.
Pada 2010, pangsa minyak sawit mencapai sekitar 35% dari total produksi minyak nabati dunia, sementara pangsa minyak kedelai turun menjadi sekitar 29%. Ini berarti bahwa Indonesia tidak hanya berhasil menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia, tetapi juga menjadi produsen terbesar minyak nabati dunia dengan pangsa sebesar 17%.
Perkembangan Industri Minyak Sawit Indonesia
Perkembangan industri minyak sawit Indonesia mengalami akselerasi setelah berhasil melakukan penguatan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN I, II, III) dan diterapkan model perkebunan kelapa sawit sinergi antara petani dengan korporasi yang dikenal dengan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau NES (Nucleus Estate and Smallholders).
Keberhasilan uji coba NES (NES I-IV) yang dibiayai Bank Dunia, kemudian dikembangkan menjadi berbagai model PIR. PIR Khusus dan PIR Lokal (1980-1985) dikembangkan dalam rangka mengembangkan ekonomi lokal; PIR Transmigrasi (1986-1995) dikaitkan dengan pengembangan wilayah baru dan PIR Kredit Koperasi Primer untuk Para Anggotanya (1996) dikaitkan dengan pengembangan koperasi pedesaan. Melalui pola-pola PIR tersebut, perkebunan kelapa sawit berkembang dari Sumut-Aceh, ke Riau, Kalimantan dan ke daerah lain di Indonesia.
Perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari sekitar 300.000 ha pada 1980 menjadi sekitar 11 juta ha pada 2015. Sedangkan produksi CPO meningkat dari sekitar 700.000 ton pada 1980 menjadi 31 juta ton pada 2015.
Pertumbuhan produksi CPO Indonesia yang begitu cepat merubah posisi Indonesia pada pasar minyak sawit dunia. Pada 2006, Indonesia berhasil menggeser Malaysia menjadi produsen CPO terbesar dunia dan pada 2015 pangsa Indonesia mencapai 53% dari produksi CPO dunia. Sedangkan Malaysia berada diposisi kedua dengan pangsa 33%.
Produksi minyak sawit Indonesia sebagian besar ditujukan untuk ekspor, hanya sekitar 20-25% yang digunakan untuk konsumsi domestik. Konsumsi domestik tersebut, mencakup untuk industri oleofood, oleokimia, detergen/sabun dan biodiesel.
Sejak 2011 Indonesia telah mendorong hilirisasi minyak sawit di dalam negeri melalui tiga jalur hilirisasi yakni jalur hilirisasi industri oleofood, jalur hilirisasi industri oleokimia dan jalur hilirisasi biofuel. Tujuannya selain meningkatkan nilai tambah juga mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar CPO dunia.
Baca Juga: Wilmar, Raksasa Agribisnis yang Menggurita Hingga 50 Negara
Jalur hilirisasi biofuel dikaitkan dengan kebijakan mandatori biodiesel dari B-5 (2010), B-10 (2012), B-15 (2014), B-20 (2016), B-30 (2020), B-35 (Februari 2023).
Jalur ini bertujuan selain untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor BBM fosil juga mengurangi emisi dari BBM fosil. Untuk merealisasi kebijakan mandatori tersebut, produksi biodiesel berbasis minyak sawit (FAME: fatty acid methyl ester) ditingkatkan baik untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun untuk ekspor.
Volume ekspor minyak sawit Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi. Tahun 2008 ekspor minyak sawit Indonesia baru mencapai 15 juta ton, meningkat menjadi 26 juta ton (setara CPO) pada 2015. Peningkatan volume ekspor minyak sawit Indonesia juga disertai dengan perubahan dalam komposisi produk ekspor.
Kebijakan hilirisasi minyak sawit di dalam negeri telah berhasil memperbaiki komposisi ekspor minyak sawit Indonesia dari dominasi minyak sawit mentah menjadi dominasi minyak sawit olahan. Jika 2008 ekspor minyak sawit Indonesia sekitar 53% masih berupa minyak sawit mentah 2015 berubah menjadi 70% sudah dalam bentuk minyak sawit olahan.
Ekspor minyak sawit Indonesia menghasilkan devisa yang penting bagi perekonomian nasional. Kontribusi ekspor CPO dan produk turunannya sangat penting dan menentukan neraca perdagangan sektor non migas khususnya maupun perekonomian secara keseluruhan.
Nilai ekspor CPO dan produk turunannya mengalami peningkatan dari USD15,4 miliar (2008) meningkat menjadi USD21,6 miliar (2011) kemudian karena penurunan harga CPO dunia, turun menjadi USD18,6 miliar (2015).
Besarnya nilai ekspor minyak sawit tersebut merupakan suatu net ekspor yang terbesar untuk ukuran satu kelompok komoditi dalam perekonomian Indonesia. Devisa hasil ekspor minyak sawit tersebut dari sudut pandang pembangunan juga lebih berkualitas dan berkelanjutan karena (1) dihasilkan dari kebun-kebun sawit pada 190 kabupaten di Indonesia, (2) sekitar 42% disumbang oleh sawit rakyat, (3) komposisi produk olahan hasil hilirisasi domestik makin besar dan (4) dihasilkan dengan kreatifitas pelaku perkebunan dan tidak menggunakan subsidi dari pemerintah. (SDR)