JAKARTA – Badan Samudera dan Atmosfer Nasional atau National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat baru-baru ini mengumumkan transisi resmi cuaca dari La Nina ke El Nino. Transisi ini ditunjukkan dengan suhu permukaan air laut atau sea surface temperatures (SST) yang lebih hangat daripada rata-rata di wilayah Khatulistiwa khususnya di Samudra Pasifik.
Portal berita-berita komoditas Fastmarkets menuliskan, perubahan pola iklim ini memiliki implikasi yang signifikan untuk wilayah pertanian di seluruh dunia dan pengaruhnya akan bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Di Asia Tenggara, khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menjadi sentra perkebunan kelapa sawit dunia, El Niño dapat merusak pertanian secara serius, karena pemanasan perairan Pasifik mengganggu frekuensi curah hujan, menyebabkan kondisi kekeringan yang parah.
Badai El Nino diperkirakan memberikan dampak pada produksi perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia pada beberapa tahun mendatang. Untuk tren produksi tahun ini, hingga bulan akhir semester pertama, masih naik. Kenaikan produksi ini diperkirakan terjadi hingga akhir tahun 2023. Meskipun demikian, tren kenaikan produksi dan persediaan akan sedikit terhenti oleh transisi cuaca ke El Nino.
Biasanya, diperlukan waktu sekitar enam bulan agar perubahan pola cuaca berdampak pada produksi minyak sawit. Jadi, secara seimbang, musim 2022-23 mungkin tidak akan mengalami penurunan seperti biasanya terkait dengan prospek yang lebih kering yang ditunjukkan oleh El Niño. Namun, imbal hasil 2023-2024 bisa menurun, berpotensi mengurangi hasil akhir.
Lantas bagaimana transisi dari La Nina ke El Nino ini akan berdampak terhadap harga minyak CPO pada beberapa tahun mendatang? Tunggu ulasan SAWITKITA pada tulisan berikutnya. (LIA)