JAKARTA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia (Aspekpir Indonesia) terus mendorong percepatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Karena itu perlu untuk memperkuat kemitraan inti-plasma.
Hal itu dikatakan Ketua Umum Aspekpir Indonesia Setiono di sela acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Tahun 2025 dengan mengambil Tema ‘Memperkuat Kemitraan Inti-Plasma Petani Sawit Dalam Mendukung Terwujudnya Ketahanan Pangan, Energi dan Menuju Hilirisasi Indonesia Emas 2045’ di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Menurut Setiono, industri perkebunan sawit memerlukan kemitraan yang saling menguntungkan. “Sebab, tanpa kemitraan petani akan menghadapi banyak masalah, salah satunya adalah tidak adanya jaminan harga,” ujar Setiyono.
Baca Juga: Aspekpir Jalin Kerja Sama Strategis dengan SAWITKITA
Setiono tak menampik masih ada kemitraan yang tidak saling menguntungkan. Karena itu perlunya pengawasan dan pembinaan dari pemerintah. “Sebab adakalanya, salah satu pihak baik inti maupun plasma hanya mencari keuntungan sepihak tanpa memperhatikan mitranya. Perlu bantuan dan pengawasan dari pemerintah agar kemitraan tetap saling menguntungkan,” katanya.
Ia menilai kemitraan pola kemitraan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) bisa dijadikan percontohan nasional. Pola ini terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit. Berbeda jauh dengan pola bagi hasil yang hasilnya tidak jelas sampai sekarang.
“Utang nggak lunas-lunas, pendapatan petani memprihatinkan. Sementara manfaat program PIR sejak 1978 memang sangat bagus. Bahwa sebelumnya kita tidak mempunyai apa-apa dengan mengikuti program PIR ini nasib kami menjadi lebih baik dan sejahtera,” katanya.
Baca Juga: PalmCo dan Aspekpir Bekali Ratusan Petani untuk Akselerasi PSR
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan, saat ini kebun petani baik plasma maupun swadaya telah menjadi bagian penting bagi industri sawit Indonesia. Besaran kebun petani sawit yang mencapai 42% kini telah memasuki masa peremajaan dengan rata-rata usia tanaman diatas 25 tahun.
“Terdapat 513.000 hektare kebun sawit plasma yang tersebar di 15 provinsi di mana sebagian di antaranya adalah petani binaan anggota GAPKI yang memerlukan peremajaan,” kata Eddy.
Menurut Eddy, petani Aspekpir Indonesia mitra GAPKI seharusnya sudah clean and clear memenuhi persayaratan PSR. Namun ternyata masih harus bergelut dengan berbagai permasalahan, terutama terkait dengan legalitas lahan.
Terkait dengan legalitas lahan ini, Eddy Martono mempertanyakan adanya lahan yang telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU), namun lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan. Tak hanya itu, ada juga lahan yang telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) namun juga dinyatakan masuk dalam kawasan hutan. “Padahal (lahan tersebut) sudah pernah menjadi agunan di bank,” katanya.
Baca Juga: Gabung Program PSR, Ketua Aspekpir Rohil Langsung Koordinasi dengan PTPN V
Persoalan lain yang menyebabkan PSR terkendala justru berasal dari petaninya sendiri. “Di mana banyak yang enggan melakukan replanting dengan alasan harga tandan buah segar (TBS) yang masih tinggi,” ungkapnya.
Menurut Eddy, petani kelapa sawit memerlukan pendampingan yang serius dari pemerintah dan juga perusahaan swasta agar percepatan program PSR bisa terimplementasi dengan cepat.
“Kami sangat mengapresiasi lahirnya Perpres Nomor 3 Tahun 2022 yang membuka peluang kami (pengusaha) untuk melakukan pendampingan kepada para petani binaan dalam program PSR kemitraan,” ucap Eddy.
Sebagaimana kita ketahui, PSR merupakan program pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat, dengan mengganti tanaman tua atau tidak produktif dengan bibit baru yang lebih berkualitas.
Eddy mengungkapkan bahwa produksi sawit dalam 5 tahun terakhir mengalami stagnasi, bahkan cenderung menurun. Bisa dikatakan, permasalahan-permasalahan tersebut merupakan faktor paling critical yang menyebabkan lemahnya implementasi Program PSR.
“Program yang dimotori oleh Kementerian Pertanian dan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPD) ini telah berjalan sejak 2017. Para petani sawit mendapatkan bantuan sebesar Rp60 juta per hektare untuk melakukan PSR,” pungkasnya. (SDR)