JAKARTA – Dalam pengembangan perkebunan, perbenihan dan teknologi memainkan peran yang sangat penting. Oleh karena itu, pada 1916, Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra (AVROS), sebuah asosiasi pemilik, pekebun, dan pedagang karet di Sumatera bagian Timur, mengambil inisiatif untuk membentuk badan penelitian bernama Algemeene Proefstation der AVROS (APA) yang berlokasi di Medan.
Sebagaimana jurnal ditulis Direktur Eksekutif PalmOil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung dan telah dipublis palmoilina.asia, sejak awal, fokus APA adalah pada penelitian tanaman karet. Namun, badan penelitian ini juga turut aktif melakukan penelitian pada tanaman kelapa sawit di Marihat, Sumatera Utara (Sumut) dan menjadi pelopor dalam penelitian skala komersial kelapa sawit.
Dalam era ini, upaya-upaya seperti itu telah membantu mengembangkan dan memajukan industri perkebunan Indonesia. Seiring dengan meningkatnya permintaan akan produk perkebunan, peran badan penelitian semacam APA dalam mengembangkan teknologi baru dan meningkatkan kualitas benih sangatlah vital.
Baca Juga: Kementan Larang Penjualan Kecambah Sawit Secara Bebas di E-Commerce
Sejalan dengan kebijakan nasionalisasi perusahaan perkebunan negara pada 1957, APA mengalami perubahan menjadi Research Institute of the Sumatra Planters Association (RISPA). Selanjutnya, pada 1987, RISPA kembali berubah nama menjadi Balai Penelitian Perkebunan Medan (BPPM).
Selain itu, Perusahaan Perkebunan Negara VI dan VII (pada masa itu) juga turut serta membentuk Pusat Penelitian Aneka Tanaman Sumatra (PUPENAS) pada 1964, yang lebih dikenal sebagai Pusat Penelitian Marihat dengan fokus pada kelapa sawit, serta Pusat Penelitian Kelapa di Bandar Kuala.
Integrasi antara Pusat Penelitian Marihat, Pusat Penelitian Bandar Kuala, dan Balai Penelitian Perkebunan Medan kemudian melahirkan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) pada 1992.
PPKS kemudian bergabung dengan pusat perkebunan lainnya untuk membentuk PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) pada 2009. Dan pada 2018, RPN bergabung dengan PT Perkebunan Nusantara III Holding.
Menilik keberhasilan perkebunan kelapa sawit, kualitas benih yang unggul menjadi salah satu kunci penting. Untuk itu, lembaga penelitian berfokus pada pencarian varietas kelapa sawit yang memiliki keunggulan sesuai dengan kebutuhan.
Baca Juga: Dukung Pengembangan Sawit, BRIN Susun Rencana Riset dan Inovasi
Penelitian pemuliaan kelapa sawit telah dilakukan sejak 1916 pada masa APA dengan melakukan introduksi kelapa sawit dari Kongo/Zaire. Tenera SP540 T, yang diseleksi pada 1921, menjadi hasil pemuliaan yang terkenal. Varietas Tenera tersebut memiliki keunggulan produksi tandan dan minyak yang tinggi.
Pada 1933, Marihat Research Station mulai mengembangkan varietas kelapa sawit Dura Deli. Program pemuliaan kelapa sawit di MRS pada 1973 dikembangkan dengan menggunakan metode Reciprocal Recurrent Selection (RRS) dengan tujuan utama untuk mendapatkan varietas kelapa sawit yang memiliki produksi minyak yang tinggi.
Dalam pemuliaan kelapa sawit, metode RRS merupakan teknik pemuliaan terbaru yang digunakan di Marihat Research Station. Metode ini digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan varietas kelapa sawit unggul yang memiliki produksi minyak yang tinggi.
Melalui metode RRS, seleksi dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi produksi minyak pada tanaman kelapa sawit. Dengan demikian, hasil dari pemuliaan kelapa sawit menggunakan metode RRS diharapkan dapat meningkatkan kualitas produksi kelapa sawit
Siklus awal program Rekayasa Genetika pada Kelapa Sawit (RRS) di Medan Research Station (MRS) dilaksanakan pada periode 1973 hingga 1985. Sebanyak 410 persilangan Dura (D) dengan Pisifera (P) atau DxP dilibatkan dalam program ini. Pada 1985, hasil dari siklus pertama RRS menghasilkan enam varietas kelapa sawit unggul, yaitu Avros, Bah Jambi, Dolok Sinumbah, Marihat, LaMe, dan Yangambi.
Baca Juga: Pantau Bibit Sawit, Kementan Launching Aplikasi BABE BUN
Selain itu, program Family and Individual Palm Selection (FIPS) yang dilakukan BPPM juga telah menghasilkan dua varietas kelapa sawit, yaitu varietas Sungai Pancur-1 dan Sungai Pancur-2.
Pada 1986, dilakukan pengujian seleksi kedua RRS dengan menggunakan tetua-tetua terbaik dari siklus pertama. Dari siklus kedua RRS ini, telah dihasilkan lima varietas kelapa sawit unggul, yait Simalungun dan Langkat (dirilis pada 2003), PPKS 540 dan PPKS 718 (dirilis pada 2007), serta varietas PPKS 239 (dirilis pada 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan PPKS (Rahmadi, et al. 2017), empat bibit Dura keturunan dari Kebun Raya Bogor telah ditanam sebagai tanaman hias di perkebunan tembakau di Deli, Sumut. Benih dari tanaman tersebut kemudian menyebar ke perkebunan komersial atau pusat penelitian di Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu, keturunan dari lini tersebut dikenal sebagai Dura Deli.
Dura Deli telah melewati seleksi terpisah di berbagai daerah seperti Mopoli, Bangun Bandar, Bah Lias, Marihat Baris, Tanjung Morawa, Tinjowan, Dolok Sinumbah, Aek Pancur, RISPA, dan Bah Jambi di Indonesia serta Kuala Lumpur, Serdang Avenue, Ulu Remis, Chemara, Banting, MARDI, dan Elmina di Malaysia. Bahkan, Dura Deli telah menyebar hingga ke Kostarika, Dami Papua New Guinea, dan Kolombia.
Dari keturunan Dura Deli, terdapat salah satu varietas yang menarik yaitu Dura Dumpy yang memiliki pertumbuhan yang lambat dan ditanam pada 1940 di Elmina. Kemudian, varietas tersebut perkenalkan kembali ke Indonesia pada 1958 di Aek Pancur.
Proses seleksi yang dilakukan telah menghasilkan pohon induk yang berasal dari berbagai sumber benih resmi yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Pohon induk ini menjadi pengganti plasma nutfah tanaman kelapa sawit yang sudah mati dan diperkenalkan pada 1848. Plasma nutfah generasi baru ini menjadi sumber untuk menyusun varietas kelapa sawit di Sumut, Riau, Sumatera Selatan (Sumsel), Kalimantan Barat (Kalbar), dan Jawa Barat (Jabar).
Salah satu varietas kelapa sawit yang dihasilkan adalah Varietas Dy x P Sungai Pancur atau yang lebih dikenal dengan Varietas Dumpy. Varietas ini diperoleh melalui persilangan antara Dura Dumpy dan Pisifera turunan SP540T.
Dura Dumpy sendiri merupakan mutan dari Dura Deli yang diperkenalkan dari Elmina, Malaysia pada 1956 dan hanya dimiliki oleh PPKS. Varietas DyP SP I kemudian dirilis pada 1984 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 384/Kpts/TP.204/4/1984.
Varian Dumpy memiliki beberapa keunggulan yang menonjol, seperti pertumbuhan yang lambat namun stabil, tandan buah yang besar, dan ketahanan batang yang tinggi. Dengan keunggulan tersebut, varietas Dumpy dapat mencapai umur produktif hingga 30 tahun dan lebih unggul daripada varietas kelapa sawit lainnya.
Para peneliti PPKS telah melakukan penelitian yang intensif selama bertahun-tahun untuk menghasilkan berbagai varietas kelapa sawit unggul. Sejak 1984 hingga 2020, PPKS telah merilis 13 varietas kelapa sawit unggul yang menjadi sumber benih berkualitas dalam pengembangan kelapa sawit di Indonesia.
Namun, para peneliti PPKS tidak berhenti di situ saja. Untuk mengatasi permasalahan penyakit Ganoderma yang semakin merebak, PPKS telah merilis varietas kelapa sawit baru yang toleran terhadap penyakit tersebut pada 2017. Upaya peningkatan produktivitas kelapa sawit tidak hanya dilakukan melalui riset pemuliaan, tetapi juga melalui riset agronomi, pengendalian hama dan penyakit, serta pengolahan produk turunan minyak sawit untuk meningkatkan nilai tambah produk tersebut.
Di Kebun Raya Bogor, nenek moyang kelapa sawit 4 Dura telah digantikan dengan 6 varietas unggul persilangan DxP turunan dari 4 Dura tersebut dari 6 perusahaan pembibitan sawit. Selain itu, prasasti kelapa sawit juga telah dibangun dan diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo pada 11 Maret 2018. Sementara varietas unggul DxP PPKS 540 hasil pemuliaan para ahli di PPKS ditanam pada tanam perdana Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di Banyuasin, Sumsel.
Sejak 1940 hingga 2017, sektor perbenihan kelapa sawit Indonesia telah berhasil menciptakan varietas kelapa sawit yang semakin meningkatkan produktivitas minyak. Potensi produktivitas minyak dari varietas yang diciptakan pada 1940 hanya sebesar 2,2 ton per ha. Namun, seiring berjalannya waktu, produktivitas minyak meningkat secara signifikan menjadi 6,4 ton per ha pada 1980 dan terus meningkat menjadi sekitar 10,5 ton per ha pada 2017.
Industri perbenihan kelapa sawit memiliki tiga peran penting yang diemban secara simultan dan berkesinambungan (Paspi Monitor, 2021). Pertama, industri ini bertanggung jawab untuk menciptakan varietas unggul dengan produktivitas minyak yang lebih tinggi.
Kedua, industri ini bertugas untuk mengembangkan teknologi produksi yang terintegrasi dengan varietas kelapa sawit unggul. Ketiga, industri ini juga memiliki tanggung jawab untuk melestarikan plasma nutfah kelapa sawit sebagai sumber daya genetik penting bagi masa depan industri perbenihan kelapa sawit.
Kehadiran industri perbenihan kelapa sawit di Indonesia telah berhasil melestarikan dan mengembangkan 4 varietas pada awal 1848 menjadi 58 varietas pada 2020. Ini disebabkan oleh adanya dukungan dari 18 perusahaan pembibitan sawit yang ada di Indonesia. Kapasitas produksi benih atau kecambah kelapa sawit di Indonesia juga meningkat pesat menjadi sekitar 250 juta kecambah pada 2020.
Melalui pembudidayaan dan dukungan dari industri perbenihan seperti pada kelapa sawit, pelestarian plasma nutfah atau keanekaragaman hayati berhasil dijaga. Ini bukan hanya berhasil melestarikan plasma nutfah yang ada, tetapi juga memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi bagi masyarakat di seluruh generasi.
Pentingnya pelestarian plasma nutfah telah diakui secara internasional karena dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pemeliharan keanekaragaman hayati dan kesejahteraan manusia. Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, industri perbenihan kelapa sawit menjadi salah satu contoh penting dalam pelestarian plasma nutfah dan pembudidayaan yang berkelanjutan. (SDR)