LEMBANG – Tata kelola sawit terus diperbaiki oleh para pemangku kepentingan dari komoditas strategis nasional ini. Namun, semua pihak perlu tetap mengkritisi agar kebijakan-kebijakan seputar komoditas strategis ini mendukung industri usaha sawit dalam negeri.
“Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, harus mendukung perbaikan tata kelola industri kelapa sawit Indonesia dan mendukung iklim usaha tentunya,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung Prof. I Gde Pantja Astawa dalam workshop wartawan yang digelar Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) di Lembang, Bandung, Rabu (23/8/2023).
Salah satu contoh adalah penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 19 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Banyak hal yang belum tuntas dan menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku usaha industri sawit.
“Ketidaktuntasan penyelesaian masalah tata ruang (RTRWP/RTRWK) ini salah satu akar masalah yang rumit,” katanya menyebut salah satu persoalan dalam kebijakan-kebijakan tersebut.
Sayangnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45 / PUU–IX Tahun 2011 yang sebenarnya diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum masalah Hak Guna Usaha (HGU) pun tidak diterapkan. Ini merupakan putusan terhadap permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU ini dinilai bertentangan dengan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945.
Menurutnya, putusan MK itu menjawab sengketa kewenangan pusat dan daerah. Terutama, terkait RTRWP yang tidak diakui pemerintah pusat dan menegasi keberadaan izin lokasi yang diterbitkan kepala daerah. “RTRWP tidak dapat dikesampingkan dalam pengukuhan kawasan hutan,” katanya.
Putusan MK ini sebenarnya juga dapat dijadikan entry point untuk mengurus HGU perkebunan kelapa sawit selama kawasan tersebut belum dikukuhkan sebagai kawasan hutan. Bahkan, menurutnya, sebenarnya putusan MK ini pun dapat dijadikan dasar bagi pelaksanaan tugas Satgas Sawit yang dibentuk pemerintah dalam rangka peningkatan tata kelola industri sawit.
“Carut marut sawit karena ketidakkonsistenan penerapan putusan MK. Mestinya putusan MK itu dipatuhi, ditaati,” kata I Gde Pantja Astawa.
Pendapat senada juga dikemukakan Dr. Sadino, Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.Ia juga menambahkan bahwa kata “pemutihan” yang digunakan pemerintah tidak tepat. Seperti diketahui, pemerintah menyebut ada 3,3 juta hektare (ha) perkebunan kelapa sawit di mana sebagian di antaranya telah memiliki HGU diindikasikan berada di kawasan hutan.
Lebih lanjut Sadino mengimbau para pihak untuk kembali melihat definisi ‘kawasan hutan’. Adalah wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebankan hak atas tanah.
Sedangkan HGU merupakan hak konstitusi warga negara yang diberikan kepada pemerintah melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sedangkan sedangkan pengaturan kawasan hutan itu diatur dalam Undang-Undang tentang Kehutanan (UUK).
“Kalau dia mengklaim HGU sebagai kawasan hutan, pasti bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi,” kata Sadino. “UUD 1945 pasal 28 jelas menjamin setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh negara,” tegasnya.
Meskipun demikian, lahirnya Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara diharapkan menjadi angin segar dalam menyelesaikan polemik ini.
Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sarjono menyatakan self reporting yang harus dilakukan perusahaan kelapa sawit melalui sistem informasi SIPERIBUN yang menjadi salah satu program satgas diharapkan dapat memberikan data dan informasi yang baik dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Dari 3,3 juta ha perkebunan sawit yang dinyatakan masuk kawasan hutan. Di mana sebagian telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan telah tertanam, bahkan sebagian sudah memiliki HGU dan sertifikat hak milik (SHM).
Mungki mengungkapkan, anggota GAPKI yang masuk ke dalam kawasan hutan sebagaimana SK No 13 Menteri LHK adalah 648.000 ha. Untuk angka luasan SHM dan HGU yang teridentifikasi masuk kawasan hutan masih dilakukan monitoring. “Perusahaan anggota GAPKI sangat mendukung dan sudah 100% melakukan self reporting,” ungkap Mukti.
Pihaknya mendorong dan mendukung pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan lahan sawit ini agar iklim usaha industri kelapa sawit di Indonesia terus kondusif dan memberikan kontribusi optimum bagi negara.
Perlu diketahui berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 jumlah perusahaan sawit di Indonesia sebanyak 2.056 perusahaan. Dari total perusahaan sawit tersebut hanya 731 perusahaan saja yang tercatat sebagai anggota GAPKI.
Sebelumnya, Ketua Umum GAPKI Eddy Martono juga menegaskan hal serupa. Menurut Eddy, menyoal keterbukaan informasi para pelaku industri sawit, semua sudah sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. “Kalau ingin data HGU ya silahkan, tidak ada yang ditutupi. Tinggal mengikuti mekanisme di BPN (Badan Pertanahan Nasional) saja,” tegas Eddy. (SDR)