JAKARTA – Indonesia sungguh beruntung memiliki kelapa sawit. Komoditas ini terbukti menjadi penopang perekonomian nasional, menyerap jutaan tenaga kerja, hingga mengentaskan kemiskinan. Di saat Indonesia dihantam pandemi Covid-19, kelapa sawit menjadi penyelamat perekonomian nasional. Di kala sektor-sektor lain terpuruk, kelapa sawit tetap memberikan berkontribusi positif. Sehingga tak salah apabila kelapa sawit ditetapkan sebagai komoditas strategis nasional.
Kendati kelapa sawit telah memberikan berbagai kontribusi positif, negara belum memberikan perlindungan optimal kepada tanaman ini. Hingga saat ini belum ada undang-undang (UU) yang secara khusus mengatur soal kelapa sawit. Sejatinya, memproteksi komoditas strategis dengan undang-undang itu sudah dilakukan banyak negara, seperti Amerika Serikat (AS) sudah mempunyai ketentuan yang melindungi komoditas kedelai, jagung, kapas dan gandum.
Sementara itu Turki memiliki undang-undang yang melindungi tembakau, Malaysia mempunyai undang-undang perkelapasawitan, dan Jepang mempunyai undang-undang perberasan. Namun ironis bagi Indonesia, komoditi-komoditi strategisnya tidak ada perlindungan hukumnya.
Atas dasar itulah, Firman Soebagyo terus mendorong terbitnyaUundang-Undang Perkelapasawitan. Untuk mengetahui lebih jauh apa latar belakang dan gagasan politisi Partai Golkar ini, berikut gagasan anggota Komisi IV DPR RI yang disampaikan dalam wawancara dengan Sudarsono, Pemimpin Redaksi SAWITKITA.ID:
Anda terus menyuarakan soal pentingnya regulasi yang bisa memproteksi kelapa sawit. Apa perlunya regulasi tersebut?
Indonesia ini kan sebuah negara yang jumlah penduduknya terbesar nomor empat di dunia. Kalau kita melihat dari rilis PBB bahwa pada tahun 2050 itu akan terjadi pertumbuhan penduduk 9,8 miliar. Sementara jumlah penduduk Indonesia di 2030 diperkirakan 380 juta. Artinya apa? Artinya dua kebutuhan penting yang mendasar yaitu energi dan pangan.
Lantas, apa hubungannya dengan regulasi tersebut?
Kalau kita bicara pangan, bahwa pangan merupakan amanat konstitusi. Di dalam UUD 1945 itu pangan, sandang, papan harus tersedia oleh negara. Karena Indonesia ini mempunyai tingkat kerawanan yang tinggi bilamana terjadi kelangkaan atau krisis pangan, maka Indonesia itu harus berani membuat satu terobosan dalam bentuk regulasi. Regulasi itu sifatnya represif dan antisipatif.
Apakah negara-negara lain juga memproteksi komoditas pangannya?
Di beberapa negara itu sudah ada. Di Jepang itu ada UU Perberasan, di Turki itu ada UU perlindungan tembakau karena diangkap membawa dampak perekonomian yang luar biasa. Bahkan di Amerika Serikat (AS) itu memiliki regulasi yang memproteksi tanaman kedelai, jangung, kapas, dan gandum.
Di Indonesia ini kita punya kelapa sawit yang merupakan minyak nabati yang dibutuhkan dunia. Malaysia itu sudah punya UU palm oil. Tapi di Indonesia sampai hari ini belum bergerak untuk mengarah ke sana dalam melindungi komoditi strategisnya.
Jadi, sudah saatnya Indonesia memiliki Undang-Undang Perkelapasawitan?
Oleh karena itu, saya pernah menginiasi UU Perkelapasawitan sebelum pandemi Covid-19 yang lalu, tapi pemerintah waktu itu menolak. Baru sekarang pemerintah tergerak untuk membahas perkelapasawitan. Oleh karena itu, ke depan DPR akan membuat UU yang lebih represif dan lebih antisipatif dan kemudian untuk melindungi komoditi strategis ini. Nah inilah gagasan yang akan kita lakukan. Komoditas startegis itu harus dilindungi dalam rangka untuk pemenuhan UUD 1945 agar pangan tetap harus terjaga. Itu prinsip dasarnya.
Apa yang dimaksud dengan UU yang represif dan antisipatif tersebut?
Pengertian undang-undang yang represif itu kita melihat fakta di lapangan. Kalau kita lihat sejatinya undang-undang itu kan dasar acuan hukum untuk kepentingan rakyat. Ketika fenomena terjadi seperti kemarin terjadinya kelangkaan minyak goreng. Itu terjadi karena tidak adanya satu acuan aturan hukum yang benar-benar bisa melindungi kepentingan rakyat. Itu yang namanya represif.
Kita harus betul-betul menjemput bola, apa yang ada di publik, kemudian kita lakukan pemantauan, kita lakukan evaluasi. Ooo… ternyata kita tidak punya regulasi masalah perkelapasawitan sampai pada produk turunannya. Itu yang namanya represif. Jadi kita jangan menunggu.
Sementara untuk yang antisipatif adalah next apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ini tahun 2023, pada 2050 kalau nanti apa yang dinamakan energi baru terbarukan disepakati dan dijalankan, bagaimana nasib perkelapasawitan kita yang akan dijadikan sebagai bahan baku biodiesel?
Jangan sampai nanti sawit yang selama ini sebagai bahan baku untuk kebutuhan pangan, kemudian penggunaannya akan digeser ke kebutuhan energi. Karena harganya untuk bahan baku energi lebih bagus, akhirnya apa yang akan terjadi, defisit terhadap kebutuhan akan minyak goreng dalam negeri dan kebutuhan minyak nabati juga akan terganggu. Makanya Indonesia itu memiliki posisi yang sangat strategis untuk masalah kebutuhan minyak nabati dunia.
Gagasan soal UU Perkelapasawitan ini dulu pernah anda sampaikan ke publik, namun tak mendapat respon positif dari pemerintah. Seberapa besar keyakinan Anda gagasan ini bisa diterima pemerintah?
Ya tentunya pemerintah harus menghormati terhadap apa yang menjadi inisiatif DPR. Karena di dalam pembentukan undang-undang, kedudukan DPR dengan pemerintah itu sama. Dalam konstitusi kita UUD 1945 menyatakan bahwa posisi pembentukan UU itu ada di DPR di mana pembahasannya bersama pemerintah.
Ketika DPR melihat ada kepentingan yang lebih besar untuk kepentingan rakyat, pemerintah harus mendengarkan itu dan merespon itu dan menindaklanjutinya. Karena itu DPR itu selalu harus antisipatif dan represif apa yang menjadi problem di masyarakat. Karena tidak ada aturan hukum, tidak ada dasar hukum. UU Perkelapasawitan ini diperlukan supaya itu ada ada rujukan aturan hukum yang jelas. Jangan sampai sebuah komoditi yang strategis ini akhirnya menjadi bulan-bulanan oleh aparat penegak hukum ataupun LSM yang selama ini anti kelapa sawit.
Undang-undang adalah keputusan hukum, namun hingga saat ini belum ada politisi dari partai lain yang menyuarakan soal ini. Bagaimana anda meyakinkan gagasan ini ke politisi di luar Partai Golkar sehingga mereka mendukung gagasan tersebut?
Saya rasa temen-temen itu rasional. Sawit itu adalah kebutuhan dunia. Sawit itu juga penyangga perekonomian nasional, penghasil devisa, penyerapan tenaga kerja dan juga sebagai penyangga kebutuhan akan minyak goreng nasional. Nah posisi ini harus kita jelaskan.
Alhamdulillah, ketika itu kami mengundang dari berbagai narasumber khususnya Badan Legislasi yang awalnya tidak memahami tentang sawit, akhirnya semuanya memahami. Nah kalau ini digulirkan lagi, saya rasa tinggal mencet tombol saja bisa jalan. Karena semua sudah paham mengenai manfaat sawit. Apalagi setelah pandemi ini akan ada semacam penguatan kembali terhadap argumentasi saya itu, karena semuanya telah terbukti. (SDR)