JAKARTA – Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Harapannya dengan program ini bisa meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit tanpa menambah luasan lahan.
Sejak awal diluncurkan Presiden Jokowi pada Oktober 2017, Program PSR hingga 2023 telah menyentuh kepada 142.078 pekebun sawit rakyat dengan dana yang disalurkan mencapai sebesar Rp9,11 triliun dan dengan total areal PSR seluas 326.678 hektare (ha).
Program PSR sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas tanaman perkebunan kelapa sawit nasional yang saat ini rata-rata sekitar 3-4 ton/hektare dan umur tanaman di atas 25 tahun. Di sini peran serta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjadi ujung tombak keberhasilan program yang diarahkan Presiden Jokowi untuk mencapai target-target yang telah ditentukan bersama.
Dalam rangka percepatan Program PSR ini, BPDPKS terus berkolaborasi dengan berbagai stakeholders kelapa sawit. Pada 4 Maret 2022 telah dilakukan kegiatan penanaman perdana PSR di Kabupaten Muara Enim dengan melibatkan Kemenko Perekonomian, BPDPKS, dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Selain itu, dalam rangka mendorong percepatan Program PSR juga telah ditandangani MoU antara BPDPKS dan PBNU dalam akselerasi dan percepatan implementasi PSR, penguatan UKMK sawit dan edukasi sumber daya manusia perkebunan sawit.
Program PSR yang menerapkan Good Agriculture Practice (GAP) dan penggunaan bibit unggul, akan meningkatkan produksi kelapa sawit tanpa harus melakukan pembukaan lahan baru. Program PSR ditargetkan dari tahun 2020-2022 untuk lahan seluas 540.000 hektare (ha) dan didukung pembiayaan dari BPDPKS.
“Ini merupakan bukti nyata dukungan pemerintah dalam menyukseskan program PSR. Diharapkan ke depannya para pekebun sawit swadaya dapat termotivasi untuk mengikuti program PSR. Keterlibatan Bupati/Kepala Daerah di wilayah lainnya yang menjadi sentra produksi kelapa sawit pun dapat mendorong untuk mencapai target PSR,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Pada kesempatan berbeda Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan Program PSR merupakan inisiatif penting yang bertujuan meningkatkan produktivitas perkebunan milik petani kecil. “Tujuan utama program ini adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani kecil, sambil memanfaatkan sekitar dua juta hektare lahan perkebunan yang potensial,” kata Eddy Abdurrachman.
Ia mengemukakan program ini telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dan dana sebesar Rp8,5 triliun telah didistribusikan kepada lebih dari 306.000 ha lahan dan memberikan manfaat kepada lebih dari 134.000 petani kecil.
Ia mengatakan melalui program PSR ini lebih dari 200.000 ha lahan sudah ditanami kembali, dan lebih dari 100.000 ha dalam proses pembersihan lahan. “Program ini tidak hanya mengatasi kesenjangan finansial, tapi juga mempermudah akses petani ke pasar,” ujarnya.
Dia juga menyampaikan bahwa kerja sama dengan berbagai pemangku kebijakan, seperti kementerian, pemerintah daerah, koperasi, dan perusahaan swasta menjadi bagian penting dalam pelaksanaan program ini.
“Keberlanjutan program ini menjadi hal yang mendesak. Peserta program diimbau untuk memperoleh sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada saat panen pertama kali,” katanya.
Menurut dia, kewajiban pelaksanaan ISPO ini menekankan pertimbangan lingkungan dan etika sudah masuk pada produksi sawit. Dia juga menjelaskan program PSR telah melewati beberapa fase yang berbeda, menyesuaikan dengan tuntutan pasar dan perubahan regulasi.
Fase awal dimulai pada 2016, ditandai dengan penyaluran pertama di Provinsi Riau untuk 254 ha. Kemudian pada 2017, program ini diluncurkan secara besar-besaran di Musi Banyuasin, Sumatera Utara. Fase kedua dimulai pada 2018 dengan memperkenalkan model baru yang dilaksanakan menindaklanjuti penetapan dari Presiden RI.
Pada 2019-2020 mencatat rekor tertinggi dalam jumlah area yang memenuhi syarat untuk dana penanaman kembali. Fase ketiga, pada 2021, berfokus pada reformasi regulasi. Pada 2022 membawa regulasi yang lebih baik untuk mengatasi masalah status lahan dan pemetaan, serta memperkenalkan skema kemitraan untuk memfasilitasi akses ke dana penanaman kembali.
“Meskipun program ini telah membawa dampak ekonomi yang positif, masih terdapat tantangan. Salah satu masalah utama adalah kesenjangan finansial antara distribusi dana penanaman kembali dan fase produksi, yang membuat petani kecil enggan berpartisipasi,” ujarnya.
Sementara itu, kata dia, tantangan lainnya di antaranya perlunya revitalisasi infrastruktur, fluktuasi biaya pupuk dan pestisida, kelangkaan bibit legitim, kurangnya pengetahuan dalam praktik pertanian yang baik serta masalah waktu pengiriman dan komitmen juga menghambat kesuksesan program.
Menurut dia, beberapa strategi dan inovasi telah diperkenalkan untuk mengatasi tantangan ini dan mempercepat program. Langkah-langkah ini termasuk memperluas pasar terkait, meningkatkan kerja sama dengan pihak-pihak terkait, mengintegrasikan program dengan inisiatif terkait lainnya, memperbaiki infrastruktur, dan memperkuat proses verifikasi.
Ia menekankan bahwa semua langkah tersebut bertujuan untuk menyederhanakan dan mempercepat proses peremajaan sawit kembali. “Pentingnya program PSR tidak boleh diabaikan. Tanpa program ini, produktivitas perkebunan kelapa sawit diproyeksikan akan menurun secara serius,” kata dia. (ANG)