JAKARTA – Harga minyak mentah dunia mulai menyentuh level USD90 juta barel atau tertinggi sejak November 2022. Kenaikan harga minyak mentah dunia ini menjadi alarm bagi Indonesia yang masih bergantung pada impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM). Dari total konsumsi BBM nasional, sebanyak 60% dipenuhi lewat impor dalam bentuk minyak mentah atau bahan bakar. Padahal kebutuhan energi jenis BBM nasional terus meningkat.
Melihat kondisi ini, kebijakan program mandatori penggunaan bahan bakar nabati (BBN) berbasis sawit yang dilakukan pemerintah terbukti tepat. Pasalnya, kebijakan ini terbukti bisa mengurangi ketergantungan impor minyak berbasis fosil. Selain itu, kebijakan ini sangat penting untuk keberlanjutan industri sawit.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan, program biodiesel sangat penting untuk mengurangi ketergantungan impor minyak bumi. Juga, kata dia, untuk menjaga stabilisasi harga sawit di dalam negeri.
Sebelum pemerintah menggencarkan program mandatori biodiesel, minyak sawit Indonesia sangat bergantung pada pasar ekspor. Akibatnya, kata Eddy, pergerakan harga sangat dominan ditentukan oleh pasar luar negeri.
Karena itulah, pemerintah meluncurkan mandatori biodiesel. Meski, dia mengakui program ini membutuhkan dana yang relatif besar. Yang tergambar dari alokasi pemanfaatan dana pungutan dana perkebunan kelapa sawit yang dikelola BPDPKS. Dana itu berasal dari pungutan atas setiap ekspor minyak sawit dan turunannya.
Hal itu pula lah, kata Eddy, yang kemudian memunculkan stigma, BPDPKS lebih pro kepada pengusaha-pengusaha sawit yang khususnya bergerak di badan penyediaan atau pemanfaatan program biodiesel.
“Mohon untuk tidak mendikotomikan. BPDPKS selalu melaksanakan pekerjaan sesuai dengan amanah yang dibebankan kepada mereka,” katanya dalam acara Advokasi Sawit di Jakarta, belum lama ini.
“Karena, dana BPDPKS memang proporsi yang terbesar saat ini adalah untuk membiayai pengembangan bahan bakar nabati yang berasal dari sawit dalam bentuk biodiesel. Mengapa demikian? Karena program biodiesel ini merupakan program yang sangat penting khususnya untuk keberlanjutan daripada industri sawit,” jelas Eddy.
Sebagai informasi, mengutip catatan Kemenko Perekonomian, sejak tujuh tahun terakhir, tingkat pencampuran biodiesel terus ditingkatkan dari 15% (B15) pada tahun 2015, 20% (B20) pada tahun 2016, dan 30% (B30) pada tahun 2020. Dan, mulai 1 Februari 2023 tingkat campuran mandatori biodiesel dinaikkan menjadi 35% (B35).
BPDPKS mencatat, sejak 2015 sampai Mei 2023 dana pungutan sawit yang terkumpul mencapai Rp186,6 triliun. Yang kemudian disalurkan untuk pendanaan berbagai program, termasuk membayar selisih harga untuk mandatori biodiesel.
Dari tahun ke tahun, volume mandatori biodiesel semakin meningkat. Untuk tahun 2023 ini dialokasikan kurang lebih 12,9 juta metrik ton, naik dari tahun 2022 lalu yang sekitar 9 juta metrik ton. “Volumenya dari tahun ke tahun meningkat, harga demikian juga. Harga biodiesel atau sawit ini relatif lebih tinggi daripada harga solar sebagai fosil fuel, sehingga dampaknya dana relatif lebih besar yang diperlukan untuk biodiesel itu tadi,” ujar Eddy.
Karena itu lah, menurut Eddy, alasan alokasi dana BPDPKS untuk program mandatori biodiesel lebih besar. Dan, sudah sesuai dengan regulasi yang berlaku. Yaitu, untuk menutup selisih antara harga biodiesel dengan harga solar, lalu dikalikan dengan volume daripada biodiesel itu sendiri.
Di kesempatan berbeda, Plt Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha BUMN, Riset dan Inovasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi mengatakan bahwa program mandatori biodiesel terbukti mengurangi ketergantungan impor solar. Program ini telah berjalan sejak tahun 2008.
“Saat ini sedang berjalan program mandatori B35 per 1 Februari 2023 dan terus akan ditingkatkan,” kata Elen dalam Dialog Industri: Kejar Devisa Lewat Program B35, yang digelar di Golden Ballroom Hotel Sultan, belum lama ini.
Elen menjelaskan, realisasi distribusi B35 sampai 30 Juni 2023, volume biodiesel yang tersalurkan sebesar 5,44 juta KL atau 41,86% dari target 2023 sebesar 12,99 juta KL. “Potensi penghematan devisa mencapai USD3,59 miliar atau Rp55,23 triliun,” ujarnya.
Menurut Elen, bahan bakar B35 memiliki manfaat tidak sedikit. Salah satunya membuat minyak sawit mentah (harga crude palm oil/CPO) menjadi stabil. Dari produksi CPO yang melimpah itu sebagian dikonsumsi untuk energi yang lebih ramah lingkungan. “Ketika subsitusi bahan bakar ini berhasil, impor turun. Produksinya juga makin berkembang,” kata Elen.
Penggunaan B35 pun bisa menghemat devisa hingga kurang lebih USD8,4 miliar. Hal ini seiring menurunnya porsi impor solar. Potensi penghematan ini, Elen melanjutkan, juga meningkat jauh dari tahun 2018. “Dulu hanya USD1,89 miliar ketika menerapkan B20,” sebutnya.
Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Elen menuturkan impor solar berkurang hingga 7,19 juta kiloliter. Sebab ketika 2012, impor solar mencapai 12,46 juta kiloliter. Sedangkan pada 2022, hanya 5,27 juta kiloliter.
“Kemudian penjualan biodiesel meningkat 24,26 juta kiloliter. Tahun 2012 hanya 9,13 juta kiloliter dan 2022 mencapai 33,39 juta kiloliter,” tutur Elen.
Seperti diketahui, program mandatori B35 telah direalisasikan pada 1 Februari 2023. Selanjutnya, diterapkan sepenuhnya secara nasional mulai 1 Agustus 2023. B35 merupakan bahan bakar dengan persentase pencampuran bahan bakar nabati (BBN) ke dalam bahan bakar minyak (BBM) sebesar 35%.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa dengan diberlakukannya B35, Indonesia akan semakin dapat mengendalikan impor solar. Untuk pelaksanaan program B35 pada tahun 2023, ditargetkan penyaluran biodiesel mencapai 13,15 juta kL per tahun atau 226.000 barel per hari.
Penghematan devisa diperkirakan mencapai sekitar USD10,75 miliar atau setara dengan Rp161 triliun. Pemberlakuan B35 ini menyerap tenaga kerja sebanyak 1.653.974 orang dan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 34,9 juta ton CO2e.
Daymas Arangga, Direktur Eksekutif Energy Watch menilai Indonesia saat ini memerlukan pengurangan ketergantungan terhadap impor minyak fosil. Hal tersebut guna mendukung program biofuel seperti biodiesel dan biotanol.
“Tentu akan ada koreksi harga (BBM eceran) akibat hal tersebut. Sebagai antisipasi, Indonesia perlu mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak. Program biofuel (bahan bakar nabati), seperti biodiesel dan bioetanol, dapat mendukung hal tersebut secara jangka panjang,” ujar Daymas melalui keterangan tertulisnya.
Dari sisi regulasi, penggunaan bahan bakar B35 berdasarkan peraturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terutama keputusan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi nomor 207.K/EK.05/DJE/2022, yang diterbitkan pada 28 Desember 2022. Selain itu, tercantum pula di Surat Edaran Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) nomor 10.E/EK.05/DJE/2022 yang juga ditetapkan pada 28 Desember 2022.
Beberapa regulasi berkaitan dengan biodiesel lainnya adalah Keputusan Menteri ESDM nomor 295.K/EK.01/MEM.E/2022 tentang Penahapan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel sebagai Campuran Bahan Bakar Minyak Jenis Solar dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Kemudian, Keputusan Menteri ESDM nomor 205.K/EK.05/DJE/2022 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel serta Alokasi Volume Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel untuk Pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Solar Periode Januari sampai Desember 2023. (NYT)