JAKARTA – Pemerintah terus memacu peningkatan mandatori biodiesel. Tercatat sejak republik ini dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi), program ini terus digeber.
Diketahui, Indonesia menerapkan mandatori biodiesel sejak 2014. Melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12/2015, kebijakan mandatori biodiesel dipercepat dari B10 tahun 2014, menjadi B15 (2015) dan B20 (2016), dan B30 pada 2020.
Sejak 1 Februari 2023 Indonesia menerapkan B35 hingga saat ini. B35 adalah campuran bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit, dengan kadar minyak sawitnya 35%, sementara 65% sisanya dari bahan bakar minyak (BBM) solar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan implementasi B40 akan diterapkan 2025 mendatang.
Baca Juga: Jhonlin Agro Raya Olah Sawit Jadi Biodiesel B50
Upaya pemerintah tersebut direspon positif para pelaku usaha biodiesel. Mereka seakan berlomba-lomba meningkatkan kapasitas produksinya untuk menangkap peluang itu.
Baru-baru ini, PT Jhonlin Agro Raya (JAR) Tbk, perusahaan agroindustri kelapa sawit yang beroperasi di Batulicin, Kabupaten Tanam Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel) mulai mengolah kelapa sawit menjadi bahan bakar nabati jenis biodiesel dengan kandungan 50% atau B50.
Soft launching ini dilakukan oleh Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, Minggu (18/8/2024). Peluncuran program B50 ini merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah dan dunia usaha, salah satunya adalah PT Jhonlin Agro Raya.
Amran Sulaiman menyatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk memastikan akses energi yang terjangkau dan ramah lingkungan. Menurutnya, B50 tidak hanya membantu mengurangi emisi karbon, tetapi juga berperan dalam menekan defisit perdagangan.
Baca Juga: Pemerintah Percepat Implementasi B40 Tahun Depan
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memberikan apresiasi terhadap upaya pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah kelapa sawit tersebut. Namun, Direktur Eksekutif GAPKI, Mukti Sardjono, menekankan bahwa tantangan pertama dalam melanjutkan program ini adalah peningkatan produktivitas sawit, yang salah satunya dapat dicapai melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
“Dengan adanya B40 atau B50, kita tidak punya pilihan selain meningkatkan produktivitas sawit. Jika tidak, kita mungkin harus mengurangi ekspor,” ujar Mukti, Selasa (20/8/2024).
Ia menambahkan bahwa peningkatan produktivitas melalui program PSR perlu mendapatkan perhatian lebih. Pasalnya, selama ini realisasi program PSR belum pernah mencapai target yang diharapkan.
Mukti juga mengungkapkan harapannya agar ada peningkatan luas areal perkebunan, misalnya di Papua, untuk memastikan bahwa program hilirisasi sawit untuk kebutuhan energi tidak mengganggu pasokan ekspor.
“Saya kira akan sangat baik jika ada kebun khusus untuk energi, sehingga tidak akan mengganggu pasokan kita untuk ekspor,” jelasnya. (ANG)