JAKARTA – Pengembangan industri biodiesel berbasis minyak sawit di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan penyerapan pasar domestik. Apalagi daya serap di pasar dalam negeri masih ditopang oleh kebijakan PSO (public service obligation) melalui program mandatori biodiesel. Dalam jangka panjang, produk biodiesel Indonesia harus bisa bersaing di pasar internasional termasuk bisa merebut kembali pasar Uni Eropa.
Demikian kesimpulan dari analisis Redaksi SAWITKITA berdasarkan kompilasi pemikiran sejumlah pakar ekonomi dan komoditas.
Ada empat faktor yang mendorong perkembangan sektor bioenergi. Pertama, bioenergi dilihat sebagai salah satu solusi mengatasi permasalahan ketahanan energi (energy security). Produksi minyak bumi nasional mencapai angka tertinggi pada dekade 2000-an, tetapi diperkirakan akan mengalami penurunan hingga tahun 2025. Keadaan ini mengindikasikan ancaman terhadap ketahanan energi nasional. Untuk mengatasi permasalahan ketahanan energi, Indonesia melakukan impor minyak bumi yang semakin tinggi mulai tahun 2007 dan diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2025.
“Karena itu alternatif berupa bioenergi sebagai energi baru terbarukan menjadi salah satu solusi untuk mengurangi tekanan impor dan mengatasi ancaman keamanan energi,” kata Arya Hadi Darmawan, peneliti Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB, dalam Working Paper 242. Kertas kerja bertajuk Pengembangan Bioenergi di Indonesia ini adalah hasil kolaborasi tim peneliti IPB University dan CIFOR (Pusat Penelitian Kehutanan Internasional).
Faktor kedua, kata Arya, adalah motivasi untuk mendayagunakan energi bersih untuk menanggapi kekhawatiran dari dampak buruk emisi gas rumah kaca (GRK) dari penggunaan energi fosil. Bioenergi belum dapat dikatakan sebagai energi bersih karena terkait dengan proses produksi yang mash belum sepenuhnya lestari. Namun bioenergi tetap dipandang sebagai energi yang lebih ramah lingkungan daripada energi fosil karena energi ini dihasilkan oleh aktivitas produksi pertanian.
“Ketiga, pengembangan bioenergi dapat dijadikan instrumen pengendalian harga komoditas, termasuk komoditas pertanian. Dalam hal ini, pengembangan biodiesel berbasis sawit di Indonesia menjadi salah satu tindakan untuk mengendalikan pasokan minyak sawit ke pasar global, yang diharapkan akan mendorong harga minyak sawit internasional naik dan menggairahkan kembali sektor kelapa sawit di Indonesia,” katanya.
Keempat, kata dia, bioenergi juga hadir sebagai salah satu solusi untuk mendorong perekonomian lokal, regional, dan nasional melalui pembangunan pertanian.
Namun demikian, industri biodiesel di Indonesia menghadapi tantangan berat khususnya dari pasar Uni Eropa. Meskipun dinilai sebagai bentuk diskriminasi perdagangan, larangan biodiesel Indonesia masuk
pasar Uni Eropa telah mengganggu kinerja ekspor biodiesel nasional.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaparkan data baywa ekspor biodiesel Indonesia turun 70% imbas hambatan dagang yang dibikin Uni Eropa.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu mengatakan anjloknya kinerja ekspor itu disebabkan karena kampanye negatif serta proteksi dagang dari Uni Eropa atas produk biodiesel Indonesia. Yang terbaru adalah penerapan EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) yang semakin menyulitkan produk-produk berbasis minyak sawit masuk ke pasar Eropa.
Lantas bagaimana strategi Indonesia agar bisa merebut kembali pasar Uni Eropa? Perlu kebijakan yang integratif. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mendorong tata kelola perkebunan kelapa sawit yang semakin berkelanjutan.
“Dengan pemberlakuan EUDR di Eropa, komoditas minyak sawit akan semakin sulit masuk ke Benua Biru itu. Kecuali terus meningkatkan aspek sustainability,” kata Kepala Divisi Komunikasi Perusahaan BPDPKS, A. Maulizal Sutawijaya kepada SAWITKITA.
Sementara itu, Direktur Eksekutif PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy) Dr Tungkot Sipayung memberikan sejumlah saran agar produk biodiesel Indonesia tetap bisa bersaing di pasar internasional meskipun dihadang berbagai hambatan di Eropa.
“Pasar ekspor tidak hanya Eropa, kita cari alternatif pasar yang lain. Tapi penerapan EUDR juga seharusnya mendorong pelaku usaha perkelapasawitan melakukan tata kelola pada semua aspek yang lebih berkelanjutan. Tapi ini perlu waktu,” kata Tungkot.
Kata Tungkot, kebijakan EUDR adalah sinyal bahwa Uni Eropa tidak mampu menyaingi minyak sawit karena lebih kompetitif. “Karena tidak bisa bersaing dalam aspek harga dan produktivitas, maka mereka menerapkan strategi non price competition melalui isu-isu keberlanjutan. (LIA)