JAKARTA – Pungutan ekspor (PE) kelapa sawit dialokasikan untuk kesejahteraan petani sawit di Indonesia. Selain untuk kesejahteraan petani sawit, pungutan ekspor itu juga dialokasikan untuk program biodiesel sehingga harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit tetap stabil. PE ini salah satunya digunakan untuk membantu kegiatan peremajaan sawit rakyat (PSR) dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
“Dana pungutan sangat bermanfaat untuk petani sawit. Saya ingin sampaikan bahwa petani sawit justru mensyukuri manfaat dana pungutan ekspor,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung.
Karena itulah, Apkasindo mendukung keberlanjutan dan penggunaan dana pungutan ekspor sawit di bawah pengelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dalam perhitungannya, pungutan ekspor berdampak kepada harga TBS petani sawit. Dari perhitungan asosiasi, diskon yang diterima antara Rp90-Rp110/kilogram (kg) TBS untuk setiap pungutan USD50 per ton CPO.
“Petani tidak keberatan sepanjang dana tersebut digunakan kembali untuk membangun sektor kelapa sawit. Dan petani sawit sangat merasakan manfaatnya. Walaupun Indonesia terlambat mendirikan BPDPKS daripada Malaysia yang sudah puluhan tahun lalu mendirikan lembaga serupa. Tetapi, ini sudah kemajuan besar untuk bangsa,” tuturnya.
Dana pungutan sawit membantu anak petani/buruh sawit untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saat ini, ada 1.200 alumni Program D1 Sawit yang sudah tamat. Taruna Sawit Indonesia ini mendapatkan pendidikan di lima perguruan tinggi terbaik bidang sawit. Pada 2020, jumlah perguruan tingginya bertambah menjadi 6 kampus.
“Mereka (Taruna) ini anak-anak petani dan buruh tani yang dibiayai full beasiswa BPDPKS. Mereka tidak punya kesempatan dan peluang jika bersaing di kampus-kampus umum karena berbagai faktor. Belum lagi yang masih sedang proses kuliah sekitar 1.000-an anak,” jelas Gulat.
Yang paling dirasakan adalah program PSR bagi perkebunan petani. Apalagi dana PSR telah dinaikkan menjadi Rp30 juta per hektare (ha) sehingga semakin dirasakan manfaatnya bagi petani. “Kami apreasiasi perhatian Kementerian Keuangan melalui BPDPKS yang menaikkan dana hibah. Ini sangat memberi harapan baru bagi masa depan sawit petani yang sudah memasuki generasi kedua,” katanya.
Selain itu, kata Gulat, dukungan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian sangatlah terasa yang mewujudkan kebijakan untuk melonggarkan syarat PSR. Dari sebelumnya delapan persyaratan dipangkas menjadi dua persyaratan. “Kemudahan ini sangat membantu petani untuk meningkatkan target peremajaan sawit,” ujar Gulat.
Sebelumnya, BPDPKS telah mengeluarkan regulasi Peraturan Direktur Utama BPDPKS Nomor: KEP-167/DPKS/2020 tanggal 28 Mei 2020 yang mengatur lebih lanjut kenaikan besaran dana peremajaan tersebut. Dengan keluarnya keputusan ini, maka kenaikan tersebut sudah dapat diakses oleh petani yang ingin mengikuti program peremajaan.
Tahun ini, dana pungutan ekspor akan lebih terasa manfaatnya bagi petani untuk digunakan bagi sarana prasarana. Dana sarana prasarana ini sangatlah penting bagi petani yang ingin memperbaiki jalan kebun ataupun pabrik sawit.
Hal senada dikemukakan Kepala Divisi Pemungutan Biaya dan Iuran Crude Palm Oil BPDPKS Ahmad Munir. Menurutnya, pungutan ekspor kelapa sawit yang dihasilkan oleh BPDPKS selalu dialokasikan untuk kesejahteraan petani sawit di Indonesia.
“BPDPKS itu dananya berasal dari pungutan ekspor produk turunan sawit yang dimasukan ke penerimaan negara dan dialokasikan untuk kesejahteraan petani sawit,” kata Munir dalam rilisnya.
Selain alokasi untuk kesejahteraan petani sawit, kata Munir, pungutan ekspor itu juga dialokasikan untuk program biodiesel sehingga harga TBS tetap stabil. Munir menjelaskan bahwa tujuan PSR untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit berkelanjutan. “Selain itu juga ada program sarana dan prasarana seperti pupuk, bibit, jalan dan juga termasuk pengairannya,” jelas Munir lagi.
Dana yang didapatkan BPDPKS, menurut Munir, adalah dari hasil pungutan ekspor sawit jadi dari konsepnya ialah sawit untuk sawit. “Selain itu juga ada pengembangan SDM yaitu memberikan beasiswa pada anak-anak petani sawit. Program riset dan promosi penyediaan program biodiesel dan lain-lain,” bebernya.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud menuturkan bahwa kebijakan pungutan ekspor ini dilakukan agar terjadi perbaikan produktivitas di sektor hulu melalui peremajaan perkebunan kelapa sawit, serta penciptaan pasar domestik melalui dukungan mandatori biodiesel.
“Semua kebijakan terkait kelapa sawit tujuan akhirnya adalah sustainability dari kelapa sawit itu sendiri, mengingat peranannya sangat penting dalam perekonomian nasional,” ungkap Musdhalifah.
Menurut Musdhalifah, penerapan pungutan ekspor di 2020 dan 2021 terbukti tidak menyebabkan penurunan harga TBS di tingkat petani. Harga TBS di tingkat petani mengikuti kenaikan harga CPO, di mana pada Januari-Mei 2021 rata-rata harga TBS di tingkat petani di atas Rp2.000 per kg.
Selain itu, Pemerintah tetap berkomitmen meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan kompetensi SDM dengan pemberian beasiswa bagi anak-anak dan keluarga petani kelapa sawit, serta pelatihan bagi petani sawit. Program pengembangan SDM yang diberikan terutama program pengembangan kelapa sawit yang sesuai Good Agricultural Practices (GAP) dan menunjang keberlanjutan usaha (sustainability).
Pungutan ekspor tersebut diharapkan dapat mendorong keseimbangan antara pengembangan subsistem hulu dan hilir industri sawit, serta peningkatan kualitas dan kuantitas pelaksanaan Program Pengembangan SDM, Penelitian dan Pengembangan, PSR, Sarana dan Prasarana, Promosi, dan Insentif Biodiesel. “Dengan tetap menjaga akuntabilitas dan tranparansi pengelolaan dan penyaluran dana perkebunan kelapa sawit,” ujar Musdhalifah.
Kunci Stabilnya Harga TBS
Penerapan pungutan ekspor CPO ini juga pada akhirnya mendorong hilirisasi pengolahan CPO di dalam negeri mengingat tarif pungutan untuk ekspor produk hilir dari CPO jauh lebih rendah.
“Artinya, industri hilir di dalam negeri dapat tumbuh sehingga penyerapan tenaga kerja meningkat. Kenaikan harga CPO dunia berdampak positif terhadap harga TBS,” ujar Gulat Manurung.
Gulat mengakui serapan sawit di dalam negeri menjadi kunci stabilnya harga TBS. Instrumen penyerapan sawit ini adalah kebijakan mandatori biodiesel. “Dengan adanya pemakaian sawit di dalam negeri, pabrik sawit beroperasi 24 jam. Tidak ada lagi alasan tanki penyimpan penuh. Karena serapan sawit sangat tinggi,” tandas Gulat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menjelaskan bahwa regulasi pungutan ekspor memberikan insentif yang cukup atraktif untuk mengekspor produk hilir. Alhasil, peningkatan nilai tambah di sektor hilir akan berkontribusi bagi banyak hal antara lain nilai devisa, lapangan kerja dan pajak negara. Dan elemen ini sering dilupakan oleh sebagian para pebisnis sawit Indonesia.
“Komposisi ekspor yang dominan hilir menunjukkan tarif pungutan sangat efektif. Dampak positifnya mendongkrak harga TBS petani,” ujar Sahat. (SDR)