JAKARTA – Optimalisasi lahan kosong dengan ditanami tanaman sela perlu dilakukan di saat penanaman kembali (replanting) sawit. Tanaman sela yang potensial dikembangkan yakni singkong, sorgum, maupun kedelai.
Praktik budidaya tanaman pangan di lahan kosong sawit yang sedang direplanting ini diyakini bisa memperkuat ketahanan pangan nasional. Sebab potensi lahan kosong di areal kebun sawit yang diremajakan mencapai 1 juta hektare (ha) per tahun.
“Praktik budi daya tanaman sela itu bukan saja dapat menjadi pemasukan bagi para pemilik kebun sawit, tapi juga solusi atas terbatasnya lahan pertanian pangan di Tanah Air,” ujar Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI) Kacuk Sumarto pada acara Media Gathering di Jakarta, Kamis (4/1/2024) lalu.
Menurut Kacuk, tanaman sela yang memungkinkan dibudidayakan di bawah pohon sawit yang sedang fase replanting antara lain sorgum, jagung, dan kedelai. Sebenarnya, pangan tidak hanya itu, kegiatan peternakan dan perikanan juga termasuk kategori pangan yang bisa dilakukan di lahan kosong di bawah tanaman sawit yang sedang diremajakan.
“Pengembangan tanamanan sela, seperti singkong, dengan memanfaatkan lahan kosong di bawah sawit yang sedang diremajakan perlu didorong untuk mendukung ketahanan pangan nasional,” ungkap Kacuk Sumarto di Jakarta, Kamis (4/1/2024).
Pada masa peremajaan, lahan di bawah pohon sawit cenderung kosong, setidaknya selama tiga tahun. Pada periode itulah, kegiatan ekonomi berupa budi daya tanaman sela atau aktivitas peternakan dan perikanan bisa dilakukan.
Kacuk menggambarkan, dengan asumsi perkebunan sawit nasional 20 juta ha dan siklus 25 tahun, setiap tahun peremajaan mencapai 548.000 hektare (ha). Apabila itu benar-benar dilakukan secara kontinyu, setiap tahun ada 1 juta ha lahan kosong yang bisa dipakai untuk kegiatan ekonomi.
“Dari pengalaman di Sumatera, 1 ha menghasilkan 60 ton singkong. Dengan asumsi konsumsi 2021, ada singkong 29,6 juta ton setara beras yang dihasilkan. Artinya terjadi surplus pangan,” kata dia.
Namun demikian, implementasi hal itu butuh kajian akademis guna menguji efektivitas skema tersebut dalam membantu memperkuat ketahanan pangan nasional. Aspek logistik pun harus menjadi perhatian.
Selain itu, apabila praktik itu untuk skala nasional, tentunya keterlibatan pemerintah sangat diperlukan terutama dalam penetapan pembeli siaga (off-taker) dari produksi pangan yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi di lahan kosong di bawah pohon sawit yang diremajakan.
“Saya pernah mengembangkan tanaman sela berupa singkong, sorgum, jagung, dan kedelai. Petani banyak yang mengikuti, tapi tidak mungkin kami jadi off-taker, perlu lembaga semacam Perum Bulog,” papar Kacuk.
Pengembangan integrasi sawit-singkong melalui skema budi daya tanaman sela di lahan kosong di bawah sawit yang sedang diremajakan itu sejalan dengan salah satu misi RSI yaitu menginisiasi dan memfasilitasi perluasan usaha perkebunan sawit nasional sebagai bagian untuk membangun ketahanan pangan dan energi.
Pendekatan dari misi itu adalah perkebunan sawit memiliki sumber daya lahan yang bisa untuk kegiatan ekonomi lain secara bersamaan demi mendapatkan nilai tambah dari produk sawit yang dihasilkan, baik sejak masa persiapan penanaman, peremajaan dan produksi, tanpa harus bertentangan kepentingan dengan komoditas induknya (sawit). (SDR)