JAKARTA – Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Eugenia Mardanugraha mengingatkan pemerintah harus berjuang keras di Word Trade Organization (WTO). Upaya ini harus untuk melobi Uni Eropa terkait pengenaan bea masuk imbalan (BMI) biodiesel.
“Lobi itu harus dilakukan secara terukur dan berani karena imbas dari kebijakan itu adalah turunnya devisa ekspor Indonesia dan nasib jutaaan petani yang makin terpuruk,” kata Eugenia di Jakarta pada akhir Agustus 2023.
Terkait pengenaan bea masuk imbalan bioediesel ini, Indonesia telah mengajukan permohonan konsultasi sengketa ke WTO pada 15 Agustus 2023. Pengenaan bea masuk imbalan biodiesel oleh Uni Eropa menjadi tantangan besar dunia perkelapasawitan nasional.
Menurut dia, perjuangan pada perundingan tingkat internasional di WTO harus terus dilakukan dengan mengerahkan semua kemampuan lobi terbaik. Apalagi, Uni Eropa telah memberlakukan bea masuk imbalan di kisaran 8% – 18% sejak 2019.
Pengenaan bea masuk imbalan menimbulkan kerugian serius bagi industri Indonesia, khususnya setelah perekonomian dunia bergerak pasca pandemi Covid-19. “Indonesia menilai penyelidikan dan pengenaan bea masuk imbalan tidak konsisten terhadap aturan WTO,” ujar Eugenia.
Di sisi lain, Eugenia mengingatkan pentingnya meningkatkan produksi sawit di dalam negeri, sehingga harga biodiesel bisa kompetitif setara harga solar. “Ini penting agar kedepan, biodiesel tidak perlu lagi terus menerus disubsidi lagi dari dana yang dikelola oleh BPDPKS,” katanya.
Dia menyarankan pentingnya melakukan diversifikasi penggunaan sawit sebagai bahan bakar di dalam negeri. “Penciptaaan biobensin mungkin bisa menjadi alternatif, sehingga dengan mudah kita mengendalikan suplai biodiesel ke Eropa,” katanya.
Menurut Eugenia, kalau hal ini dapat direalisasikan, ke depan Indonesia tidak khawatir dengan pembatasan biodiesel ke Eropa karena pasokannya terserap penuh di dalam negeri.
Hal lainnya yang diperlukan adalah membangun bursa berjangka untuk komoditas kelapa sawit di Indonesia yang mapan. “Bursa sawit belum terealisasi. Selama Eropa menguasai pasar derivatif sawit melalui Bursa Roterdam, keberhasilan Indonesia mengendalikan perdagangan sawit tidak akan sepenuhnya berhasil,” katanya. (NYT)